Studi yang melibatkan 8.600 orang siswa tersebut menemukan, seks baik saat sadar maupun mabuk lebih umum terjadi pada remaja yang terlibat dalam bullying daripada remaja pada umumnya. Remaja yang terlibat bullying diartikan sebagai pelaku maupun korban.
Dr Jefry Biehler, ketua dokter anak di Miami Children's Hospital menegaskan, sudah saatnya bullying dianggap sebagai permasalahan kesehatan dan dibutuhkan metode pencegahannya. "Perilaku berisiko remaja dapat berdampak pada konsekuensi jangka panjang pada anak itu sendiri maupun masyarakat umum," ujarnya.
Menurut studi yang dimuat dalam jurnal Pediatrics tersebut, program pencegahan perlu memperhatikan hubungan potensial antara bullying dengan seks berisiko. Meskipun studi tidak menemukan hubungan sebab-akibat dari keduanya.
"Temuan studi ini menambah informasi bahwa baik pelaku maupun korban bullying pun sama-sama rentan untuk melakukan seks berisiko," ujar ketua studi Melissa Holt, asisten profesor konseling dan perkembangan manusia di Boston University.
Namun, menurut dia, studi hanya melibatkan remaja heteroseksual. Sehingga implikasi hasil studi pada remaja homoseksual masih belum jelas.
Holt menjelaskan, bullying dan seks berisiko pada remaja mencerminkan respon pada stresor yang dapat berupa pola pengasuhan yang tidak baik.
Dr Victor Fornari, direktur divisi anak dan remaja di North Shore-LIJ Health System mengatakan, mengambil risiko adalah hal yang wajar di masa remaja. Ini karena bagian otak yang bernama lobus frontal masih dalam tahap perkembangan sehingga mengambil keputusan seringkali tidak dapat dipikirkan matang-matang.
"Apalagi jika terlibat bullying, remaja bahkan semakin berani mengambil perilaku berisiko, termasuk melakukan seks yang berisiko," jelasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.