Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 16/12/2013, 09:43 WIB
KOMPAS.com — Tak perlu khawatir terserang penyakit saat berada di ketinggian tertentu bagi Anda yang gemar mendaki gunung. Para ahli kini tengah mengembangkan percobaan yang dapat mengidentifikasi orang berpotensi menderita sakit akibat ketinggian sehingga bisa memberikan perawatan tepat.

Penyakit ketinggian yang dikenal dengan nama acute mountain sickness ini kebanyakan menyerang para pendaki gunung maupun penggemar olahraga ski pada ketinggian minimal 2.500 meter.

Kondisi ini terjadi ketika orang kesulitan beradaptasi dengan tipisnya level oksigen pada dataran tinggi. Pada banyak kasus gejalanya ringan seperti sakit kepala, mual, dan pusing. Namun, dalam kasus tertentu bisa berakibat fatal.

Baca juga: Sekjen Hipmi Sebut Jet Pribadi yang Digunakan Bahlil untuk Mudik Lebaran Dibayar dengan Dana Pribadi

Uji coba terbaru ini ditampilkan pada konferensi EuroEcho di Istanbul, Turki.

Para peneliti mempelajari fungsi kardiovaskular, menggunakan teknik non-invasif berdasarkan USG, terhadap 34 sukarelawan sehat. Sekitar sepertiga dari mereka telah mengalami penyakit ketinggian parah sebelumnya. Percobaan dilakukan sekali di permukaan laut, dan sekali lagi di pegunungan Alpen, Perancis, dengan ketinggian 3.842 meter.

Pembatasan obat
Peneliti memonitor tingkat saturasi oksigen peserta, juga melakukan pemeriksaan USG fungsi hati mereka dengan menggunakan perangkat portabel. Pemeriksaan ini dilakukan kepada peserta setelah mereka berada di gunung selama empat jam.

Baca juga: Profil Muhammad Arif Nuryanta, Ketua PN Jaksel yang Diduga Terima Suap Rp 60 Miliar

Setelah 24 jam berada pada dataran tinggi, 13 dari 34 sukarelawan mulai menunjukkan gejala sakit dengan tingkat keparahan sedang hingga berat. Mereka memiliki tingkat saturasi oksigen lebih rendah. Hasil USG menunjukkan fungsi yang rendah pada kemampuan memompa darah di ventrikel kanan.

Perubahan ini tidak terlihat pada orang yang tidak menampilkan gejala penyakit ketinggian.

Ketua tim peneliti, Rosa Maria Bruno, mengatakan, "Jika hasil ini dikonfirmasi oleh penelitian yang lebih besar, maka akan mungkin mengidentifikasi individu yang rentan (terserang penyakit ini) dan memberikan saran dan obat-obatan untuk mereka."

Dengan demikian, tidak semua pendaki mengonsumsi obat-obatan untuk mengantisipasi penyakit di ketinggian. "Kita dapat membatasi penggunaan obat-obatan (dan efek sampingnya) hanya untuk mereka yang benar-benar membutuhkan," terangnya.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Berikan Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi Akun
Proteksi akunmu dari aktivitas yang tidak kamu lakukan.
199920002001200220032004200520062007200820092010
Data akan digunakan untuk tujuan verifikasi sesuai Kebijakan Data Pribadi KG Media.
Verifikasi Akun Berhasil
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau