Penyakit ketinggian yang dikenal dengan nama acute mountain sickness ini kebanyakan menyerang para pendaki gunung maupun penggemar olahraga ski pada ketinggian minimal 2.500 meter.
Kondisi ini terjadi ketika orang kesulitan beradaptasi dengan tipisnya level oksigen pada dataran tinggi. Pada banyak kasus gejalanya ringan seperti sakit kepala, mual, dan pusing. Namun, dalam kasus tertentu bisa berakibat fatal.
Uji coba terbaru ini ditampilkan pada konferensi EuroEcho di Istanbul, Turki.
Para peneliti mempelajari fungsi kardiovaskular, menggunakan teknik non-invasif berdasarkan USG, terhadap 34 sukarelawan sehat. Sekitar sepertiga dari mereka telah mengalami penyakit ketinggian parah sebelumnya. Percobaan dilakukan sekali di permukaan laut, dan sekali lagi di pegunungan Alpen, Perancis, dengan ketinggian 3.842 meter.
Pembatasan obat
Peneliti memonitor tingkat saturasi oksigen peserta, juga melakukan pemeriksaan USG fungsi hati mereka dengan menggunakan perangkat portabel. Pemeriksaan ini dilakukan kepada peserta setelah mereka berada di gunung selama empat jam.
Setelah 24 jam berada pada dataran tinggi, 13 dari 34 sukarelawan mulai menunjukkan gejala sakit dengan tingkat keparahan sedang hingga berat. Mereka memiliki tingkat saturasi oksigen lebih rendah. Hasil USG menunjukkan fungsi yang rendah pada kemampuan memompa darah di ventrikel kanan.
Perubahan ini tidak terlihat pada orang yang tidak menampilkan gejala penyakit ketinggian.
Ketua tim peneliti, Rosa Maria Bruno, mengatakan, "Jika hasil ini dikonfirmasi oleh penelitian yang lebih besar, maka akan mungkin mengidentifikasi individu yang rentan (terserang penyakit ini) dan memberikan saran dan obat-obatan untuk mereka."
Dengan demikian, tidak semua pendaki mengonsumsi obat-obatan untuk mengantisipasi penyakit di ketinggian. "Kita dapat membatasi penggunaan obat-obatan (dan efek sampingnya) hanya untuk mereka yang benar-benar membutuhkan," terangnya.