Sekretaris Jenderal Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI), Farahdibha Tenrilemba Djafar mengakui ibu bekerja menyusui cenderung naik. Tren peningkatan ibu bekerja menyusui ini, kata Farahdibha, terjadi tiga tahun terakhir.
"Semakin banyak ibu bekerja yang percaya diri menyusui. Saya tidak memiliki data pasti atau survei mengenai hal ini. Namun, banyak yang sharing di kelas AIMI. Kelas edukasi AIMI menjadi indikatornya. Kelas AIMI sendiri sudah berjalan 4-5 tahun di lebih dari 30 kota di Indonesia, dan 2-3 tahun terakhir banyak ibu yang sadar menyusui," ungkapnya saat dihubungi Kompas Health, Rabu (18/12/2013).
Dukungan tempat kerja
Menurutnya dukungan terhadap ibu bekerja semakin bertambah. Perusahaan juga mulai memfasilitasi ibu bekerja untuk tetap bisa menyusui atau memerah ASI. Dukungan dari tempatnya bekerja membuat ibu lebih leluasa menyusui dan memerah ASI.
Bentuk dukungan terhadap ibu bekerja dalam menyusui beragam. Ada perusahaan yang mendirikan daycare sehingga saat waktunya menyusui, ibu bekerja bisa menemui anaknya di daycare untuk memberi ASI. Fasilitas menyusui di tempat bekerja menjadi bentuk dukungan lainnya. Kesempatan untuk memerah ASI di jalan kerja, juga merupakan dukungan yang berarti untuk ibu bekerja.
Tren menyusui di kalangan ibu bekerja ini, memang masih sebatas di perkotaan. Umumnya pekerja di perkantoran swasta dan pemerintah, berusia antara 25 hingga 40.
Mencari informasi
Konselor Laktasi yang akrab disapa Diba ini juga mengatakan ketersediaan informasi mengenai menyusui turut mendukung peningkatan tren ibu bekerja menyusui ini.
"Dua tiga tahun terakhir banyak informasi mengenai menyusui yang bisa didapatkan dengan mudah melalui smartphone. Buku juga mulai banyak. Ibu yang tadinya tidak percaya diri menjadi bisa menyusui karena mencari tahu," terangnya.
Menurutnya, bagi ibu yang belum bisa menyusui, persoalannya lebih kepada ketidaktahuan dan tidak mau mencari tahu. Padahal, perubahan informasi mengenai menyusui terus berubah. Perubahan informasi inilah yang perlu ibu cari tahu.
"Perubahan informasi drastis. Misalnya, dulu MPASI sudah diberikan saat bayi empat bulan. Dulu, IMD juga belum terlalu banyak informasinya dibandingkan sekarang. Banyak ibu yang dulunya menyusui, juga tetap merasa perlu ikut kelas edukasi karena zamannya berbeda," tutur Diba.
Masalah psikis
Dukungan ayah dan komunitas juga sama pentingnya dalam mendukung ibu menyusui belakangan ini. Kalaupun ibu bekerja yang belum menyusui, Diba mengatakan, masalahnya lebih kepada faktor psikologis.
"Mungkin ada ibu yang merasa tidak perlu menyusui, ini lebih kepada masalah psikis bukan ketidakmampuan ibu secara biologis seperti bentuk payudara tabung. Satu dari 1.000 ibu memiliki payudara berbentuk tabung yang membuatnya tidak bisa menyusui," tuturnya.
Masalah psikologis faktornya beragam. Di antaranya merasa tidak mampu karena ASI tidak keluar, merasa payudara tidak bisa memproduksi ASI. Kalau berbagai faktor ini muncul namun tidak dibarengi kemauan ibu mencari informasi dan membuka diri, maka ibu sulit menyusui.
Ibu berada di lingkungan beruntung, budaya yang mendukung, juga menjadi faktor lainnya. Misalnya, orangtua termasuk mertua mengucilkan dengan berbagai pendapatnya mengenai ASI. Seperti ASI encer dan jelek, membuat ibu merasa dianggap tidak bisa memberikan ASI.
"Kalau hanya mengandalkan kepercayaan diri dan niat, suatu hari motivasi bisa jeblok karena pengucilan. Niat besar pun menjadi ciut," ungkap Diba.
Untuk sukses menyusui, lanjutnya, ibu bekerja membutuhkan dukungan dari lingkungan sekitarnya. "Kalau tidak mendapati dukungan dari sekitarnya, cari dukungan dari peer group, komunitas, atau yang paling mudah komunitas milis," sarannya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.