Menurut Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ansori Sinungan pada Temu Media Seputar Kusta, Kamis (20/3), di Kementerian Kesehatan, Jakarta, dalam beberapa kasus, orang yang pernah menderita kusta dilarang menggunakan tempat ibadah sesuai keyakinannya. Selain karena masyarakat takut tertular, kusta juga dianggap sebagai penyakit kutukan.
”Karena itu, tokoh agama memegang peran penting untuk menghapus stigma yang salah itu. Misalnya, ulama Islam dapat membantu menyebarluaskan fatwa Majelis Ulama Indonesia tahun 1984 yang mengatakan bahwa kusta bukan penyakit kutukan, melainkan disebabkan oleh bakteri, serta dapat disembuhkan,” kata Ansori.
Kepala Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat Kementerian Agama Zubaidi menambahkan, tokoh agama cenderung lebih didengar masyarakat. Tokoh agama dapat menyelipkan penjelasan yang benar mengenai kusta di dalam khotbah. ”Tidak hanya bicara mengenai pahala, siksa, dan lain sebagainya. Topik kusta bisa masuk dalam kegiatan keagamaan,” katanya.
Menurut Ansori, akibat penolakan dari sejumlah pihak, termasuk institusi agama, tidak jarang penderita kusta mengalami putus harapan hingga mencoba bunuh diri. Mereka juga kesulitan mencari kerja, merasa malu, dan bersembunyi secara sosial.
”Ada beberapa teman penderita kusta yang mengurung diri di rumah selama dua tahun. Dia hanya keluar rumah untuk pemeriksaan rawat jalan dan mengambil obat di rumah sakit. Ini semua karena dia merasa malu dan tidak percaya diri akibat ditolak masyarakat,” ujar Amir Alrafati, mantan penderita kusta.
Dihubungi secara terpisah, Manajer Program Perhimpunan Mandiri Kusta Indonesia (Permata) Budi Yuwono, Jumat, mengatakan, pihaknya terus mengupayakan penurunan diskriminasi dan stigma yang salah mengenai kusta.
Program terbaru yang dilakukan Permata Cabang Jawa Timur adalah penyuluhan ke sekolah-sekolah dibantu American Leprosy Missions. Penyuluhan dilakukan oleh orang-orang yang pernah mengalami kusta bersama petugas kesehatan. ”Untuk awalnya dilakukan di Gresik,” kata Budi.
Untuk menghindari ketakutan dari siswa, Permata bekerja sama dengan pihak sekolah. Guru-guru bertugas memberikan sosialisasi awal kepada siswa agar ketika tim penyuluh datang tidak ada ketakutan. ”Kami temukan banyak guru juga belum tahu tentang penyakit kusta,” lanjut Budi.
Permata juga melakukan pertemuan kelompok dukungan sebulan sekali untuk meningkatkan rasa percaya diri para mantan penderita kusta.
Menurut Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama dalam temu media, pada 2012 ditemukan 18.994 kasus baru kusta di Indonesia. Hal ini menempatkan Indonesia pada perangkat ketiga di dunia.
Tjandra mengatakan, upaya penurunan angka kusta perlu diiringi penurunan kasus diskriminasi terhadap penderita kusta. ”Dari penelitian yang kami lakukan, ada laporan bahwa diskriminasi masih tinggi meskipun ada penurunan dari tahun-tahun sebelumnya,” ujar Tjandra.
Pengobatan gratis
Menurut Tjandra, pemerintah berusaha mendeteksi penderita kusta sedini mungkin dan mengobati penyakit itu semaksimal mungkin. Obat kusta disediakan gratis di puskesmas di seluruh Indonesia. Namun, hal itu tidak lantas menuntaskan permasalahan kasus kusta karena ada faktor stigma.
”Stigma tidak bisa ditangani sektor kesehatan saja. Harus lintas kementerian, seperti dengan Kementerian Agama dan Kementerian Sosial, juga Komnas HAM dan organisasi agama. Tujuannya, agar seruan menolak diskriminasi bisa menyebar di masyarakat,” ucap Tjandra.
Dalam rangka memperingati Hari Kusta Sedunia 2014, akan diluncurkan Piagam Seruan Nasional Mengatasi Kusta pada awal April. Piagam seruan ditandatangani oleh 16 organisasi agama, antara lain Majelis Ulama Indonesia, Persekutuan Gereja-gereja Indonesia, Konferensi Waligereja Indonesia, Parisada Hindu Dharma Indonesia, Perwakilan Umat Buddha Indonesia, dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia. (A06)