Kedua dokter tersebut adalah Ratih Citra Sari (33), traveler bergelar S2 Hukum Kesehatan, dan Andri Prasetya Wibowo (31), dokter residen urologi yang mencintai fotografi dan backpacking.
Inilah cerita perjalanan mereka.
Malam itu saya berkesempatan menyaksikan langsung pengobatan tradisional Balian di Kutai Barat. Masyarakat di kabupaten muda di propinsi Kalimantan Timur yang sedang terus berkembang ini, ternyata masih cukup kuat memegang tradisi leluhur mereka.
Pengobatan tradisional Balian, layaknya banyak pengobatan tradisional lain, didasari konsep bahwa penyakit disebabkan oleh gangguan makhluk halus, sehingga tujuan dari ritual pengobatan ini adalah untuk mengusir makhluk halus tersebut.
Yang menarik bagi saya adalah, ritual ini dilakukan dalam bentuk tarian yang dibalut musik tradisional, lengkap dengan berbagai ornamen hiasan layaknya sebuah perayaan pernikahan. Tentunya menghabiskan biaya yang tidak sedikit, apalagi mengingat pengobatan ini dilakukan selama sedikitnya tiga malam berturut-turut. Bahkan bisa mencapai 40 malam, tergantung berat ringannya penyakit.
Setelah meminta izin kepada keluarga yang sedang melaksanakan pengobatan dan kepada sang Pembeliat, saya kemudian dipersilahkan menyaksikan pengobatan tersebut. Tidak berapa lama, musik tradisional dari berbagai alat musik mulai dimainkan dan sang pembeliat bersama beberapa asistennya mulai menari sambil memanjatkan puji-pujian, berputar mengelilingi sebuah altar persembahan. Makin lama suara dan ritme musik semakin cepat. Gerakan para pembeliat pun seakan semakin tak terkendali. Saya pun larut dalam suasana mistis yang tercipta.
Ritus yang melelahkan
Saat akhirnya pengobatan tersebut berakhir, saya melirik jam tangan saya, ternyata pengobatan tersebut berlangsung selama lebih kurang satu setengah jam. Bukan waktu yang sebentar. Para pembeliat pun terlihat bersimbah keringat setelah ritual tersebut selesai. Pengobatan malam ini merupakan pengobatan malam ketiga, mereka masih harus melaksanakan pengobatan ini selama empat hari kedepan. Sungguh melelahkan, batin saya.
Dalam perjalanan menuju penginapan malam itu, saya merasa sangat lelah hanya dengan terlibat menyaksikan pengobatan tersebut. Tidak terbayangkan bagaimana kelelahan para balian. Terlepas dari rasa skeptis saya akan efektifitas metode itu, saya harus mengakui sebuah kekaguman timbul atas kegigihan para pembeliat yang tak kenal lelah mengusahakan sebuah pengobatan bagi pemulihan seseorang.
Rasa malu diam-diam menyusup benak saya. Saya dan sejawat saya di kota seringkali merasa lelah dan jenuh saat kami melayani pasien. Padahal kalau dibandingkan dengan usaha yang dilakukan para pembeliat, bisa dibilang kami sungguh beruntung, setidaknya kami tidak perlu menari selama satu setengah jam untuk mengobati satu pasien. Mungkin kami, para dokter, sedikit banyak harus meniru kegigihan dan keikhlasan para pembeliat dalam memberikan pelayanan bagi pasien-pasien kami.
dr. Ratih Citra Sari