Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 12/06/2014, 16:03 WIB

KOMPAS.com - Kesuburan tubuh atau kegemukan identik dengan lambang kemakmuran. Suka atau tidak, pandangan itu tumbuh dalam berbagai budaya di Indonesia. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat, akses lebih mudah terhadap pangan olahan dan siap saji, serta maraknya konsumerisme membuat jumlah penduduk gemuk di Indonesia terus melonjak.

Masyarakat Jawa, menurut dosen Antropologi Kesehatan Universitas Indonesia, Sri Murni, di Jakarta, Senin (2/6), memandang kegemukan sebagai salah satu indikator peningkatan kesejahteraan. Namun, sejatinya, pandangan mereka tentang tubuh ideal adalah langsing, bak putri keraton. Migrasi ke kota besar, kemapanan ekonomi, dan naiknya status sosial membuat nilai ideal itu tergusur.

Hal sama ada pada masyarakat Batak. Saat masih bujang, seorang gadis dituntut langsing. Namun, ketika sudah menikah, ia harus bertambah gemuk. ”Jika tidak, suami akan dicemooh oleh keluarga besar mereka karena dianggap tidak mampu menafkahi istrinya,” katanya.

Konsep kesuburan badan sebagai lambang kesejahteraan juga ada pada masyarakat Bugis dan Indonesia timur lainnya. Dosen Antropologi Kesehatan Universitas Hasanuddin, Makassar, Yahya, Rabu (11/6), mengungkapkan, seiring meningkatnya daya beli, masyarakat mencoba menikmati apa pun yang mampu mereka beli.

Sayangnya, peningkatan kemampuan membeli itu tidak disertai keterampilan memilih makanan yang baik, sehat, dan sesuai kebutuhan tubuh. Akibatnya, produk makanan olahan, siap saji, dan impor yang sebenarnya tidak sehat karena kaya lemak, garam, dan gula justru dianggap bergengsi: simbol modernitas dan kemajuan.

”Makin tinggi ekonomi masyarakat, makin selektif memilih makanan,” katanya. Sementara masyarakat dengan ekonomi baru menanjak justru mengonsumsi apa pun yang bisa dibeli.

Makanan berserat yang menyehatkan bukan pilihan. Meski termasuk negara agraris, konsumsi sayur dan buah masyarakat Indonesia amat rendah.

Bahkan, dalam beberapa budaya, istilah sayur diidentikkan dengan makanan berkuah, bukan dedaunan hijau kaya vitamin dan mineral. Pandangan itu membuat mi instan berkuah juga dianggap sebagai sayur.

Budaya patriarki juga makin mengukuhkan perilaku konsumsi masyarakat. Masyarakat cenderung meniru patron mereka, termasuk dalam pola konsumsi dan ukuran tubuh.

Meski demikian, pandangan masyarakat tentang kegemukan tentu tidak linier, tidak otomatis makin gemuk makin makmur. Ada batasan tertentu yang menjadikan kegemukan masih dipandang ’sehat’ atau dianggap sudah ’tidak sehat’.

Namun, batasannya sangat relatif, sama dengan batasan gemuk ’cantik’ atau gemuk ’tidak cantik’. Dalam kesehatan, seseorang disebut kegemukan jika indeks massa tubuh (IMT)-nya lebih besar dari 25, baik masih dalam tingkat berat badan berlebih maupun sudah obesitas.
Kelompok rentan

Di negara berkembang seperti Indonesia, perempuan lebih rentan gemuk dibandingkan laki-laki. Di negara maju, kondisinya berkebalikan.

Pakar kesehatan global Institut Pengukuran dan Evaluasi Kesehatan (IHME) Amerika Serikat, Ali Mokdad, kepada BBC, Kamis (29/5), mengatakan, perempuan di negara berkembang dituntut mampu mengerjakan banyak hal sekaligus, bekerja sambil mengurus keluarga. ”Akibatnya, mereka tak punya banyak waktu mengelola berat badan,” katanya.

Yahya menambahkan, perempuan Indonesia rentan gemuk karena budaya menempatkan perempuan sebagai pihak yang bertanggung jawab menyiapkan makanan keluarga dan menyuapi anaknya. Ada makanan sisa anaknya cenderung dihabiskan.

Sikap itu ditunjang pandangan tabu membuang makanan sisa. ”Itu dianggap mubazir, menyia-nyiakan rezeki,” katanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com