Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 12/06/2014, 16:03 WIB

Perempuan dari keluarga miskin justru rentan kurus atau kurang gizi. Budaya konsumsi makanan mengutamakan laki-laki membuat perempuan sering kali hanya mendapat sisa.

Sementara itu, laki-laki di negara maju lebih banyak yang gemuk karena kurang aktivitas fisik. Waktu habis di jalan akibat pola permukiman melebar ke luar kota. Jika ada waktu luang, biasanya untuk hobi yang tak butuh banyak aktivitas fisik. ”Modernisasi dan teknologi membuat aktivitas fisik turun,” kata Hermann Toplak, presiden terpilih Asosiasi Eropa untuk Studi Obesitas (EASO).

Di Indonesia, kegemukan juga banyak ditemukan di perdesaan. Mekanisasi pertanian, alih fungsi lahan, dan perubahan mata pencarian yang tak lagi menuntut kerja fisik membuat kalori warga tak banyak terbakar. Pada saat bersamaan, olahraga belum jadi gaya hidup dan perhatian serius pemerintah.
Pola pikir

Kegemukan bukan hanya persoalan kesehatan. Namun, ada aspek sosial, budaya, dan pembangunan wilayah yang melingkupinya. Meski demikian, ketidakseimbangan jumlah kalori asupan dengan yang dibakar melalui aktivitas fisik adalah indikator utama.

”Kegemukan adalah persoalan kebiasaan dan gaya hidup,” kata dokter spesialis gizi klinik Rumah Sakit MRCCC Siloam Jakarta, AR Inge Permadhi. Karena itu, butuh motivasi kuat menurunkan berat badan dan mengubah pola makan.

Sebagai persoalan budaya, kegemukan harus diatasi melalui pendekatan kebudayaan. ”Pandangan gemuk lambang kemakmuran hanya bisa diubah jika kampanye pola makan bergizi seimbang digencarkan dan masyarakat diajak berpikir logis dampak kegemukan,” kata Sri.

Menanamkan ide gemuk rentan menimbulkan masalah kesehatan dan sosial akan mudah dilakukan jika pengetahuan gizi diberikan kepada semua siswa di berbagai tingkat pendidikan. ”Mengubah pola pikir orang dewasa tentang kegemukan tentu lebih susah dibandingkan pada anak-anak,” tambah Yahya.

Nyatanya, anak-anak Indonesia pun kini sudah dihantui persoalan kegemukan. ”Wabah” itu menjangkiti banyak anak Indonesia, baik di kota maupun desa, dari kelompok ekonomi menengah atas atau bawah, tanpa pandang bulu tingkat pendidikan dan pekerjaan orangtuanya. (M.Zaid Wahyudi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau