Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengobatan untuk Anak Terinfeksi HIV Banyak Hambatan

Kompas.com - 08/01/2015, 18:19 WIB
Lusia Kus Anna

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Anak-anak yang terinfeksi HIV  tetap bisa hidup sehat dan produktif jika sejak dini menjalani pengobatan ARV (obat antiretroviral). Sayangnya masih banyak hambatan yang dihadapi sehingga tingkat kepatuhan konsumsi obat rendah.

Seperti halnya pengobatan ARV bagi orang dewasa pengidap HIV/AIDS, anak-anak yang terinfeksi HIV memerlukan konsumsi obat yang teratur, pemeriksaan kesehatan berkala, serta pendampingan psikologis.

Chris W.Green dari Yayasan Spiritia menjelaskan, menurut panduan WHO anak-anak berusia kurang dari 24 bulan yang terinfeksi HIV harus mulai secepatnya mendapatkan ARV. "Paling lambat pada usia 3-4 bulan sudah diberikan ARV. Penelitian menunjukkan jika tidak mendapat terapi ARV anak yang terinfeksi HIV bisa meninggal sebelum ia berulang tahun kedua," katanya dalam temu media yang diadakan oleh Pusat Penelitian HIV&AIDS Atma Jaya di Jakarta (8/1/14).

Walau ARV dijamin oleh pemerintah dan bisa didapatkan secara gratis, tetapi sediaan obat yang sebagian besar dalam bentuk tablet menyulitkan anak-anak untuk mengonsumsinya.

"Memang ada obat yang dalam bentuk sirup, tapi kandungan alkoholnya cukup tinggi dan terkadang obat sulit didapat. Banyak juga kerugian dari ARV dalam bentuk cair ini," kata Chris.

Ia mencontohkan, satu anak membutuhkan lebih dari 10 botol sirup untuk satu bulan. Ini tentu akan menyulitkan dalam penyimpanannya karena harus disimpan dalam kulkas. "Bayangkan berapa banyak kulkas yang harus disediakan apotek untuk menyimpan obat bagi 10 anak dalam periode 3 bulan," ujarnya.

Menurut panduan WHO sebenarnya obat ARV dalam bentuk tablet tidak boleh digerus atau dipotong karena bisa berpengaruh pada efektivitas obat.

Meski demikian, menurut Natasya Evalyne Sitorus dari yayasan Lentera Anak Pelangi, faktanya  obat ARV untuk anak diberikan oleh pihak apotek dalam bentuk puyer. "Tidak semua rumah sakit menyediakan ARV dalam formula pediatrik, karenanya diberikan obat ARV untuk dewasa yang dipotong atau digerus," katanya dalam acara yang sama.

Natasya mengungkapkan, ukuran obat ARV yang besar-besar membuat anak sulit menelan. Bahkan ada obat yang setelah digerus pun menjadi sangat lengket di tenggorokan sehingga sulit ditelan.  "Karenanya kami berharap pemerintah menyediakan ARV formula pediatrik di setiap rumah sakit rujukan," ujarnya.

Kendala lainnya adalah anak tidak mengetahui dirinya terinfeksi HIV sehingga kesadaran untuk minum obat secara teratur masih rendah. Padahal ARV harus terus diminum anak setiap hari seumur hidupnya. "Biasanya orangtua atau orang yang mengasuh si anak hanya mengatakan obat yang diminumnya itu vitamin, obat asma, atau obat jantung," katanya.

Obat ARV harus dikonsumsi setiap 12 jam sekali agar tidak terjadi resistensi virus. Jika sampai resistensi maka terapi pengobatan harus pindah ke lini dua. "Pemahaman akan bahaya resistensi ini belum disadari oleh orangtua atau orang yang merawat anak-anak tersebut," paparnya.

Endah Budi Hartanti dari Subdit AIDS & PMS Kementrian Kesehatan mengatakan, saat ini sudah ada 400 rumah sakit rujukan di seluruh Indonesia untuk mendapatkan ARV. "Jika di rumah sakit terlalu jauh bisa minta ke puskesmas yang ditunjuk," katanya.

Fokus pemerintah saat ini, tambah Endah, adalah menjaga agar pasien yang menjalani pengobatan ARV di lini pertama tidak masuk pada lini kedua yang berarti virusnya telah resisten. "Saat ini belum ada obat lini ketiga di Indonesia, makanya harus dijaga betul," ujarnya.

 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com