Hampir setiap tahun media massa tak pernah absen memberitakan demam berdarah dengue yang berjangkit di seantero pelosok negeri ini secara bergantian. Banyak yang selamat dari endemi penyakit itu, tak sedikit pula jiwa yang melayang karena itu. Namun, kenyataan tersebut tak sepenuhnya menggugah publik untuk mengantisipasi DBD.
Hal itu tersimpul dari hasil jajak pendapat Kompas beberapa waktu lalu. Pendapat mayoritas publik yang "mengamini" bahwa DBD masih mengancam kesehatan masyarakat ternyata tak senantiasa paralel dengan perilaku pencegahan.
Di antara publik tersebut, tetap saja ada yang tidak melakukan apa-apa alias diam saja menghadapi ancaman penyakit tersebut. Kepedulian untuk bersama-sama mencegah terjadi wabah DBD di lingkungan tempat tinggal pun belum sepenuhnya terwujud.
Fakta bahwa masih ada publik yang sama sekali tidak melakukan upaya pencegahan sarang nyamuk terungkap dalam hasil jajak pendapat ini. Jika dirata-rata, 1 di antara 20 responden mengabaikan upaya menguras, menutup, dan mengubur (3M), seperti gencar disosialisasikan dan disarankan sejumlah pihak selama ini untuk mencegah DBD. Padahal, peluang sekecil apa pun tetap bisa memicu berkembang biaknya jentik nyamuk Aedes aegepty penyebab DBD.
Minimal ada tiga hal yang dicanangkan dalam pemberantasan sarang nyamuk DBD. Pertama adalah kegiatan menguras atau membersihkan air di bak atau vas bunga. Kedua, menutup wadah yang berpotensi menjadi tempat berkembang biaknya jentik nyamuk. Ketiga, mengubur atau memusnahkan barang-barang yang sudah tidak terpakai lagi.
Kesadaran meningkat
Walaupun ada bagian publik yang belum sadar tentang pentingnya melakukan upaya pencegahan, sebagian lainnya sangat menyadari arti pentingnya pencegahan.
Selain kegiatan 3M, sebagian publik sadar untuk menghilangkan kebiasaan menggantung pakaian di dinding kamar. Sebagian lagi yang selalu rutin membersihkan wadah penampung air di mesin dispenser. Talang air dan saluran air pun tak luput dari perhatian sekitar 15 persen responden.
Upaya ini sangat positif karena pada musim pancaroba, hujan kerap kali meninggalkan genangan air yang berpotensi menjadi tempat berkembang biaknya jentik nyamuk DBD.
BD banyak dijumpai terutama di daerah tropis dan sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Rendahnya status kekebalan kelompok masyarakat dan kepadatan populasi nyamuk penular adalah beberapa faktor yang memengaruhinya.
Meski demikian, informasi tentang DBD yang semakin mudah diperoleh di mana-mana mendorong sebagian responden membicarakan tentang penyakit tersebut di berbagai kesempatan pertemuan warga, seperti dalam acara pengajian, doa bersama, atau acara arisan.
Tak heran, kesadaran terhadap penyakit tersebut meningkat. Gerakan pemberantasan sarang nyamuk dari semua pihak dirasakan publik semakin baik. Menurut responden, minimal mereka menerima imbauan rutin dari ketua rukun tetangga (RT) atau rukun warga (RW) agar aktif memberantas sarang nyamuk.
Bahkan, separuh responden mengaku pernah dikunjungi juru pemantau jentik atau lebih sering disebut jumantik. Para jumantik biasanya menanyakan apakah warga memiliki bak penampungan air dan minta izin masuk untuk melihat kondisinya secara langsung. Peran aktif warga juga tergambar melalui kerja bakti yang sering dilakukan di lingkungan masing-masing.
Publik optimistis aparat di lingkungan tempat tinggal mereka cukup sigap mengantisipasi terjadi kasus DBD. Jika ada yang positif terkena DBD, tak lama kemudian pasti dilakukan penyemprotan atau fogging di area sekitarnya. Imbauan dari pengeras suara masjid, misalnya, juga langsung diserukan kepada seluruh warga.