Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Edukasi Penyakit Kanker, Turunkan Risiko Kematian dan Kebangkrutan

Kompas.com - 21/08/2015, 16:17 WIB

BALI, KOMPAS.com - Kanker sebagai salah satu penyakit tidak menular, bukan hanya menyebabkan kematian, tapi juga menyebabkan penderita kanker mengalami kebangkrutan. Inilah hasil studi terbaru ASEAN Cost in Oncology (ACTION) yang dilakukan George Institute for Global Health di delapan Negara, yaitu Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Thailand dan Vietnam.

Temuan dari penelitian studi kohor longitudinal ini menunjukkan bahwa dari 9.513 pasien yang ditindaklanjuti pada bulan ke-12, hampir 50% dari penderita kanker mengalami kebangkrutan, sementara 29% mengalami kematian. Bukan hanya itu, 44% pasien yang selamat akan mengalami kesulitan ekonomi yang disebabkan oleh penyakit kanker.


Ini terjadi karena hampir 88% pasien kanker yang didiagnosa untuk pertama kalinya sudah berada pada stadium 2 sampai 4, hanya 12% pasien yang didiagnosa berada pada stadium 1.

Menurut Professor Mark Woodward, MSc, PhD, dari George Institute for Global Health, biaya yang dikeluarkan untuk mengobati penyakit kanker tidak hanya berdampak pada penderita, tapi juga keluarga dan lingkungannya. Sangat mungkin jika kanker menjadi salah satu faktor yang signifikan terhadap kemiskinan di Asia Tenggara.

“Untuk memerangi kanker secara efektif, Negara-negara Asia Tenggara perlu mengimplementasikan program kontrol kanker nasional dengan sistem kesehatan yang ada di Negara itu. Salah satunya dengan memperkuat deteksi dini kanker, yang dapat meningkatkan tingkat kelangsungan hidup dan tentunya juga akan menyelamatkan penderita kanker dari masalah finansial,” tambah professor Woodward saat ditemui media di Nusa Dua, Bali (20/8).

Profesor Nirmala Bhoo-Pathy, MD, PhD, ahli epidemiologi kanker fakultas kedokteran Universitas Malaya juga mengungkapkan hal senada, semakin tinggi stadium kanker saat didiagnosis, akan semakin tinggi pula biaya pengobatan yang dibutuhkan.

“Hampir semua penderita kanker di 8 negara yang terlibat dalam studi ini, harus menggunakan tabungan mereka untuk menjaga kualitas hidup selama sakit. Ini menyebabkan financial catasthrope, kondisi di mana seseorang harus menghabiskan 30% atau lebih dari penghasilan utama dan uang saku untuk pengobatan kanker,” papar Nirmala.

Pada kesempatan yang sama, Profesor dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH., dosen Kebijakan Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia menyatakan, sejalan dengan rekomendasi dari ACTION Study, pemerintah Indonesia penting untuk meningkatkan anggaran edukasi kesehatan untuk masyarakat, minimal senilai Rp2 Triliun rupiah pada 2016 mendatang.

“Sekarang ini, jumlah iklan rokok dan junk food jumlahya jauh lebih banyak ketimbang kampanye kesehatan yang mengedukasi masyarakat. Karena itu, sangat penting untuk meningkatkan anggaran. Jika masyarakat mendapatkan pengetahuan memadai tentang kesehatan, diharapkan faktor risiko dapat terhindarkan dan kesadaran untuk deteksi dini pun meningkat,” jelas Profesor Hasbullah.


Profesor Hasbullah menambahkan, sering kali gejala awal kanker tidak diketahui oleh penderita. Inilah sebabnya, pemerintah wajib berperan memberikan edukasi kesehatan secara merata, mulai dari edukasi makanan sehat, kapan harus memeriksakan diri, pemeriksaan apa yang harus dilakukan, dan sebagainya. "Dulu kita bisa menemukan kampanye SADARI atau pemeriksaan payudara sendiri di berbagai tempat. Tapi, kini sudah jarang sekali terlihat. Inilah salah satu yang perlu dilanjutkan kembali," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau