Oleh Ahmad Arif
Kerinduan warga Desa Masewo, Kecamatan Pipikoro, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, terhadap layanan medis membuat mereka menyambut gembira kedatangan dua lelaki dan dua perempuan paruh baya yang mengaku sebagai dokter. Keempatnya diinapkan di rumah tokoh desa dan dijamu. Bahkan, ketika mereka meminta bayaran jutaan rupiah, warga pun antre berobat.
"Saya membayar Rp 1,2 juta untuk berobat istri dan anak saya ke dokter itu," kata Yusuf Warani (47), mantan Kepala Dusun 1, Desa Masewo, sambil menunjukkan kapsul warna hijau, selembar kertas berisi kadar kolesterol dan glukosa, serta tulisan tentang pantangan makan.
Anehnya, kadar kolesterol dan glukosa itu didapat Yusuf tanpa perlu pengambilan darah ataupun urine. "Mereka hanya membawa alat uji tensi (tekanan) darah," ujar Yusuf.
Saat Florensius Bawu, fasilitator Karsa Institute, lembaga penelitian dan pendampingan masyarakat yang bermarkas di Palu, menyampaikan bahwa dokter itu gadungan, Yusuf hanya bisa menyesalinya. "Dokter gadungan itu juga kedapatan menipu di desa-desa lain di Pipikoro," kata Florensius.
Padahal, menurut Yusuf, uang Rp 1,2 juta itu hasil menjual cokelat selama dua bulan. "Saya sempat ragu, tapi tak mengira mereka benar-benar penipu," ujarnya.
Saat datang ke rumah Yusuf, pertengahan Agustus lalu, mereka mengaku sebagai dokter baru untuk Pipikoro. Untuk meyakinkan warga, mereka menunjukkan surat pengantar dari camat yang diduga palsu.
"Seumur-umur, hanya sekali dokter ke desa kami, saat ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) masuk desa, tahun 1993. Maka, begitu ada yang mengaku dokter, kami sambut baik. Kami kasih tempat menginap dan makan," tuturnya.
Tanpa layanan kesehatan
Tujuh puluh tahun kemerdekaan seolah tak dirasakan warga Topo Uma yang tinggal di Desa Masewo. Tak ada aliran listrik, apalagi sinyal telepon, di desa berpenduduk 136 jiwa ini.
Untuk mencapai Masewo harus melewati jalan setapak yang diapit jurang terjal sepanjang 40 kilometer (km) dari Gimpu, ibu kota Kecamatan Kulawi Selatan. Jika memakai ojek motor, butuh enam jam perjalanan mendebarkan dengan biaya Rp 300.000. Di musim hujan, lama perjalanan dan ongkosnya bisa berlipat.
Jangankan dokter, bidan pun tak ada di desa itu. Puskesmas pembantu terdekat berada di Desa Banasu yang berjarak sekitar 12 km. Medan berat harus dilalui, naik-turun bukit, hingga menyeberang anak sungai.
"Saat kandungan masih empat bulan, saya harus jalan kaki setengah hari ke Banasu untuk periksa ke bidan," kata Erlin (22) yang melahirkan bayinya tahun lalu tanpa didampingi bidan.
Yusuf menuturkan, saat masih menjadi kepala dusun, dirinya pernah mengantarkan delapan anak balita bersama ibunya dan tiga perempuan hamil berjalan kaki menembus hutan untuk periksa kesehatan ke Banasu. Dalam perjalanan pulang, hujan lebat tiba-tiba mengguyur. "Saya terpaksa membuat jembatan darurat dan menuntun mereka menyeberang satu per satu karena sungai-sungai meluap. Beruntung semuanya selamat, tapi nyaris saja," kisahnya.
Habil Noa (46), Ketua Badan Perwakilan Desa Masewo, mengatakan, semua bayi di desanya lahir tanpa bantuan bidan. "Lima anak saya lahir tanpa bantuan. Istri saya sendiri yang memotong tali pusar bayi kami, pakai tangkai daun atta yang ditajamkan," ucapnya.