KOMPAS.com - Demensia adalah kondisi ketika seseorang penderitanya mengalami penurunan fungsi otak. Saat ini, ada sekitar 50 juta orang dengan demensia yang jumlahnya ditaksir bisa melambung tiga kali lipat pada 2050.
Demensia dapat menyebabkan penderitanya kehilangan kemampuan berpikir, mengendalikan emosi, pikun, hingga mengganggu aktivitas sehari-hari.
Gejala demensia umumnya muncul dalam tiga tahap, yakni awal, tengah, sampai akhir. Melansir NIH, berikut beberapa gejala tersebut:
Pada 2020, para ahli meneliti faktor risiko demensia yang diterbitkan dalam jurnal berjudul Dementia prevention, intervention, and care: 2020 report of the Lancet Commission.
Penelitian tersebut mengidentifikasi ada 12 faktor risiko demensia, yang lima di antaranya bisa dicegah dengan cara yang sederhana.
5 Faktor risiko demensia dan cara pencegahannya
Gangguan pendengaran
Penelitian terbaru menunjukkan, orang yang mengalami gangguan pendengaran sejak usia 45 tahun ke atas, punya risiko demensia lebih besar di kemudian hari.
Seseorang yang kesulitan mendengar, otomatis akan susah memahami situasi sehingga daya pikir dan ingatan pun semakin menurun.
Tak hanya itu, gangguan pendengaran juga berkaitan dengan berkurangnya kemampuan dalam bersosial hingga memicu depresi.
Cara mencegah gangguan pendengaran adalah melakukan pemeriksakan rutin pada telinga, saraf-saraf, dan otak sejak dini. Anda juga harus melindungi telinga saat berada di lingkungan yang bising.
Kemudian, jangan abaikan gangguan pendengaran. Anda harus mendapat penanganan tepat berupa obat-obatan serta alat bantu dengar.
Alkohol
Alkohol dapat berisiko membuat seseorang mengalami demensia. Membatasi konsumsi alkohol adalah langkah terbaik untuk menjaga kesehatan otak manusia.
Pada usia paruh baya, minum alkohol lebih dari 3 botol per hari akan meningkatkan risiko demensia.
Satu-satunya cara pencegahan yaitu dengan membatasi konsumsi minuman beralkohol atau berhenti total.
Obesitas
Kegemukan dan obesitas pada usia paruh baya dapat meningkatkan risiko semua jenis demensia, AD (penyakit Alzheimer), dan VaD (demensia vaskular).
Obesitas dapat membuat volume otak menyusut atau membuat otak lebih tua dari usia sebenarnya.
Menurut Lisa Ronan, PhD dari University of Cambridge, Inggris, penderita obesitas yang menginjak usia paruh baya mempunyai materi atau bagian putih yang sedikit pada otak dibandingkan orang yang memiliki berat badan proporsional di usia yang sama.
Kehilangan jaringan putih ini berhubungan dengan penurunan kemampuan kognitif atau berupa proses mengingat, pemecahan masalah, hingga pengambilan keputusan.
Kondisi semakin parah apabila orang paruh baya yang mengalami obesitas jarang berolahraga atau tidak aktif menggerakkan tubuh.
Cara mencegah risiko obesitas adalah dengan mengontrol berat badan, dengan mengadopsi diet mediterania dan puasa intermiten.
Diet Mediterania menekankan orang yang menjalaninya untuk banyak mengonsumsi buah, sayur, kacang-kacangan, biji-bijian, dan lemak sehat.
Sementara, puasa intermiten merupakan pola makan yang terbagi ke dalam dua periode: makan dan puasa.
Mengutip Healthline, pola ini tak menentukan makanan apa yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi, melainkan lebih kepada mengatur waktu makan.
Selain menurunkan berat badan, puasa intermiten dapay mengurangi resistensi insulin sehingga mencegah diabetes, menekan faktor risiko penyakit jantung, dan mencegah pertumbuhan sel kanker.
Selain dua metode di atas, lansia yang mengalami obesitas wajib menggerakkan tubuh secara teratur dan rutin yang dimulai dengan aktivitas ringan, seperti jalan kaki atau senam.
Hipertensi
Demensia atau dikenal sebagai penyakit pikun belakangan ini juga dikaitkan dengan hipertensi.
Tekanan darah tinggi pada pembuluh darah di otak bisa menyebabkan pembuluh darah pecah dan memicu kerusakan sel-sel di otak.
Rusaknya sel-sel di otak dapat memengaruhi penurunan daya ingat dan fungsi kognitif hingga terjadi demensia.
Mengutip laman Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, berikut cara mencegah faktor risiko hipertensi.
Cedera otak traumatis
Risiko demensia tertinggi berada pada orang yang menderita cedera otak traumatis.
Dilansir dari laman Web MD, gejala demensia akibat cedera kepala meliputi gejala yang memengaruhi pemikiran dan konsentrasi, memori, komunikasi, kepribadian, interaksi dengan orang lain, suasana hati, dan perilaku.
Kondisi gejala bergantung pada bagian kepala yang mengalami benturan atau cedera, kekuatan hantaman, dan kepribadian orang sebelum kecelakaan.
Cara mencegah terjadinya cedera otak traumatis yaitu dengan melakukan langkah berikut:
https://health.kompas.com/read/2022/06/12/060000968/5-faktor-risiko-demensia-ternyata-bisa-dicegah-dengan-cara-sederhana