Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Jangan Lawan Infeksi

Ada yang menarik pada setiap pandemi atau munculnya sebuah penyakit infeksi. Infeksi yang disebabkan oleh apapun. Apakah itu virus, bakteri, jamur atau parasit.

Setiap orang selalu berpikir bagaimana membasmi agen infeksi tersebut. Padahal kita memahami, agen parasit apapun akan selalu berkembang.

Sebagaimana teori genetika dan evolusi, setiap mahluk hidup akan selalu berkembang sesuai dengan lingkungannya.

Tujuan yang didorong oleh adanya gen. Gen yang berupaya mempertahankan eksistensinya. Bahkan pada organisme seperti virus sekalipun.

Fokus manusia pada dunia luar, yaitu agen infeksi tidak akan pernah berakhir. Karena setiap upaya kita untuk menghancurkan atau menghilangkan agen infeksi akan dijawab dengan upaya pertahanan diri.

Dunia bagaikan medan perang yang tidak pernah berakhir dari berbagai gen. Setiap gen yang merupakan gen dominan akan membentuk gen adaptif sebagai upaya pertahanan.

Sayangnya di kemudian hari gen-gen adaptif yang dibentuk sebagai upaya pertahanan berkembang menjadi semakin banyak. Hingga terjadi kompetisi di antara mereka.

Akibat kompetisi tersebut banyak gen adaptif yang terusir. Terutama gen adaptif lama yang sudah jarang dipergunakan oleh sel.

Banyak gen adaptif yang musnah. Tapi tidak sedikit gen adaptif yang bertahan di alam membentuk pelindung materi genetiknya sendiri.

Gen adaptif adalah informasi genetik tidak lengkap. Gen ini tidak dapat membentuk semua organel yang dibutuhkan untuk menjadi sebuah organisme. Hanya organisme yang mampu, dengan adanya gen dominan intrakromosomal.

Gen adaptif harus mencari sosok organisme yang bisa dihinggapi dan menjadi inangnya dalam upaya mempertahankan diri.

Dia harus bersimbiosis dengan sosok organisme. Apapun, apakah dalam bentuk mutualisme, atau parasitisme. Dia harus bisa diterima kembali oleh organisme.

Gambaran seperti itu berdasarkan teori asal usul virus yang dikemukakan oleh Barbara McClintock pada 1959.

Pada saat itu hipotesa tersebut kurang mendapat dukungan. Namun dengan ditemukannya plasmid, sebuah kode genetik ekstra kromosom, hipotesa ini mendapat dukungan kembali.

Apalagi pada temuan berikutnya, ditemukan tidak hanya plasmid tapi juga mitokondria mengandung materi genetik.

Artinya, bisa diprediksikan setiap mutasi virus akan mengarah bentuk yang lebih tidak ganas dari sebelumnya. Bahkan semakin berupaya adaptif dengan sel inangnya. Semakin diterima oleh organisme.

Gen mempertahankan diri dengan selalu memperbaharui kemampuan adaptasinya. Baik gen dominan maupun gen adaptif. Untuk itu ada sebuah mekanisme alami sel yang disebut autofagi.

Autofagi adalah upaya sel untuk mendaur ulang gen-gen adaptif tanpa harus dikeluarkan oleh sel.

Gen-gen adaptif baik yang berada di dalam sel maupun yang berasal dari luar sel akan didaur ulang oleh lisosom. Proses daur ulang ini dipicu oleh kondisi starvasi sel.

Kondisi starvasi ini dipicu oleh ketiadaan hormon insulin. Seperti kita ketahui glukosa bisa masuk ke dalam sel karena adanya hormon insulin ini.

Dengan pemahaman ini, sebetulnya upaya untuk membasmi agen infeksi adalah hal yang tidak tepat.

Hal yang seharusnya dilakukan adalah mengkondisikan lisosom dalam kondisi autofagi, yaitu dengan menjadikan kondisi starvasi sel, bukan starvasi organisme. Starvasi sel tercapai saat tubuh menghentikan pelepasan insulin.

Penghentian pelepasan insulin terjadi apabila tidak ada asupan glukosa. Tidak adanya asupan glukosa mengakibatkan turunnya kadar glukosa darah.

Kondisi ini mengakibatkan pankreas melepaskan glukagon. Glukagon akan memengaruhi lisosom mencari sumber glukosa alternatif.

Lisosom akan mencerna setiap organel yang mengandung kode genetik. Apapun dan dari manapun sumbernya.

Mengapa? Karena kode genetik memiliki sumber gula berupa ribosa (RNA) dan deoksi ribosa (DNA). Selain ribosa dan deoksiribosa semua materi genetik mengandung asam amino.

Asam amino akan dipergunakan untuk menyusun protein atau peptida untuk mempertahankan integritas sel.

Timbul pertanyaan apa yang terjadi jika kita terinfeksi? Apakah tidak boleh diobati, dibiarkan hingga sembuh dengan sendirinya?

Tentu saja tidak. Tetap harus dilakukan tindakan atau pengobatan. Hanya jika selama ini tujuan pengobatan untuk mengeradikasi atau memusnahkan agen infeksi.

Dengan memahami mekanisme autofagi pengobatan bertujuan untuk menjaga proses mekanisme autofagi.

Hal ini juga untuk meluruskan pengertian yang keliru dari pemahaman autofagi selama ini.

Karena jalur yang selama ini dijelaskan melalui temuan Yoshinori Ohsumi lewat kondisi starvasi atau puasa, maka timbul anggapan jika mekanisme autofagi dipicu oleh kondisi starvasi.

Padahal yang terutama memicu terjadinya mekanisme autofagi adalah adanya kerusakan sel, oleh sebab apapun. Baik itu oleh kondisi starvasi, infeksi ataupun trauma.

Kerusakan sel ini memicu pelepasan sitokin yang memberikan sinyal adanya kerusakan sel.

Sinyal sitokin diterima oleh berbagai sistem tubuh. Oleh sistem imunitas sinyal ini disikapi dengan melepaskan sel-sel imun dan memulai reaksi peradangan.

Oleh pankreas direspons dengan mengatur keseimbangan metabolisme glukosa.

Kerusakan sel direspons dengan melakukan efisiensi oleh lisosom. Kerja lisosom dipengaruhi oleh hormon glukagon yang dilepaskan oleh pankreas. Pelepasan glukagon mengakibatkan penghentian pelepasan insulin.

Kondisi ini juga dapat kita lakukan terbalik dengan tindakan menghentikan pelepasan insulin. Penghentian pelepasan insulin memicu pelepasan glukagon.

Selanjutnya glukagon akan memengaruhi lisosom untuk melakukan efisiensi sel. Hasil akhir dari mekanisme ini adalah regenerasi sel menjadi lebih baru dan efisien.

Pada peristiwa infeksi ada beberapa aplikasi yang dapat kita lakukan untuk mempercepat mekanisme autofagi.

Pertama, tentu saja menghentikan asupan glukosa. Kedua, insulin yang berhenti dilepaskan akan mengakibatkan peningkatan glukosa di dalam darah.

Agar glukosa darah cepat turun, maka perlu dikeluarkan melalui ginjal dan keringat. Saat ini dapat diberikan intervensi berupa diuretik lemah.

Setelah sel mencapai kondisi starvasi sel, maka akan terpicu mekanisme autofagi. Pada tahap awal terjadi katabolisme.

Tahap ini kadang disebut mitofagi karena terjadi pada mitokondria, salah satu organel sel yang mengandung kode genetik.

Selanjutnya akan dilakukan proses anabolisme. Saat ini perlu asupan protein untuk membantu pembentukan organel sel baru. Sumber protein selain berasal dari luar juga berasal dari agen infeksi itu sendiri.

Jadi, seperti yang telah saya jelaskan, infeksi bisa jadi peluang menjadikan kondisi tubuh kita lebih baik. Yang terpenting jaga agar sistem mekanisme autofagi kita tetap baik.

Ini jauh lebih efektif dan lebih bersih daripada kekebalan yang dihasilkan oleh proses reaksi antigen-antibodi.

Mekanisme penanggulangan infeksi melalui autofagi memang tidak menghasilkan antibodi. Namun hal yang lebih baik, yaitu peremajaan sel.

Berikutnya banyak sekali hal yang tak terduga ditemukan dalam mekanisme autofagi. Pemahaman ini justru memberikan sudut pandang yang berbeda dalam memandang penyakit.

Khususnya pada diabetes, yang merupakan fokus penelitian penemu lisosom dan istilah autofagi, Profesor Christian de Duve.

Diabetes tak lagi jadi 'mother of disease' seperti yang selama ini dipahami. Diabetes adalah 'second chance of life' yang tidak boleh disia-siakan.

Dalam menghadapi pandemi pun sama. Ada sudut pandang yang berbeda. Dalam mengatasi pandemi tidak sibuk untuk berupaya mengatasi agen penyebab infeksi. Tetapi memanfaatkanya untuk memicu mekanisme autofagi.

Autofagi tidak pernah memusuhi agen infeksi. Mekanisme autofagi juga tidak berupaya untuk menghilangkan agen infeksi.

Tapi memanfaatkannya sebagai bahan baku regenerasi sel. Hebatnya, ini berlaku untuk semua penyakit. Dan berhasil...!

Terbukti dari sejumlah pasen yang dirawat dengan pendekatan ini, hasil antigen dan PCR tesnya bisa negatif tidak lebih dari tiga hari. Pendekatannya, jangan lawan agen infeksi, tapi aktifkan mekanisme autofagi!

Salam, semoga menjadi inspirasi hidup sehat.

https://health.kompas.com/read/2022/07/10/095144668/jangan-lawan-infeksi

Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke