Jarum jam menunjuk angka pukul 12.00 waktu setempat ketika Kompas.com berkesempatan mengunjungi kompleks sekolah lima lantai yang berlokasi di Okamoto, Setagaya, Tokyo, Jepang tersebut.
Begitu juru masak dapur sekolah menyajikan panci berisi campuran daging, wortel, kentang, bawang bombay, yang diselimuti kuah kental warna cokelat itu, anak-anak terlihat antusias.
Lantas, giliran guru kelas didampingi satu murid yang bertugas piket sebagai pramusaji bersiap membagikan makanan untuk teman-teman sekelasnya.
Pramusaji cilik dengan topi koki dan celemek putih yang berdiri di samping gurunya itu kebagian menyajikan salad ke mangkuk. Salad itu berisi mi shirataki, jagung pipil, mentimun, kol, dan wortel.
Sedangkan sang guru yang bertugas membagikan nasi plus kari. Dia dibantu lima orang pramusaji cilik lain untuk mengantarkan makanan satu per satu makanan ke 40 meja di seluruh kelas.
Saban sepiring nasi kari hangat mendarat di meja, mata anak-anak itu terlihat berbinar. Terlebih ketika menu makan siang itu ditemani camilan crepes stroberi, yogurt Joie, dan minuman probiotik Yakult.
Ya, hidangan shokuiku atau sesi edukasi makan khas Jepang kala itu merupakan salah satu menu kejutan yang ditunggu-tunggu, karena hanya keluar sesekali dalam sebulan.
“Ini namanya St. Dominic’s Curry,” ujar salah satu murid dengan tampang semringah, saat disambangi Kompas.com di sela-sela makan siang.
Dalam sebulan, sebanyak 490 murid yang menimba ilmu di sekolah privat tersebut kebagian jatah makan siang dengan menu kejutan selama beberapa kali. Sisanya, anak-anak makan dengan menu berlainan yang sudah terjadwal.
“Itadaki-masu,” ucap para murid bersemangat sembari sedikit membusungkan badannya ke depan untuk memberikan salam sekaligus penghormatan sebelum menyantap hidangan.
Dalam waktu sekitar 15 menit, sepiring nasi kari tandas disantap. Nyaris di setiap piring, tidak ada makanan tersisa, termasuk sayurannya.
“Oishii…” kata Ari. Murid yang duduk di bangku kelas 4B ini antusias ketika ditanyai rasa menu makan siangnya yang lezat.
Praktik ini mendidik murid sejak sekolah dasar untuk makan dengan menu bergizi lengkap dan seimbang, belajar tata krama seperti memberikan salam sebelum makan, sampai bersosialisasi dengan teman saat makan.
Menu yang dibuat di sekolah setempat diarahkan langsung oleh ahli gizi sekolah. Makanan tersebut disiapkan dan dibuat secara higienis di dapur sekolah.
“Bagi kami, makan siang adalah edukasi. Bukan hanya untuk memenuhi tuntutan rasa lapar,” jelas Namekawa, ahli gizi di sekolah dasar St. Dominic’s Institute Tokyo.
Namekawa menjelaskan, ketika menyiapkan menu makan siang Shokuiku, ia menggunakan takaran kalori yang dianjurkan sesuai kebutuhan anak usia sekolah dasar.
Mereka juga menggunakan bahan makanan bebas atau minim pesitisda, pakai sayur dan buah organik, serta tidak menggunakan bahan atau bumbu instan.
Komposisi gizinya diperhatikan secara cermat. Setiap menu terdiri atas protein, karbohidrat, dan serat. Menu makan tersebut juga didesain mengakomodasi kebutuhan siswa yang baru pulang sore hari.
“Sebisa mungkin semuanya kami siapkan sendiri (tidak memakai bahan dan bumbu instan). Kami menghargai cita rasa asli makanan, sekaligus untuk mengontrol asupan garam dan gula,” kata Namekawa.
Sedangkan jenis menunya, ahli gizi bersertifikat ini menyebut sesekali ia menyesuaikannya dengan agenda tertentu untuk memperkenalkan lidah anak dengan beragam cita rasa dari berbagai negara dan kultur berbeda.
Ada menu untuk Tokyo Citizen Day, kemah musim panas, terkadang pihak sekolah juga menyediakan makanan khas perayaan seperti Helloween.
“Sebelum makan, murid di sini juga kami kenalkan apa dan dari mana makanan yang mereka makan hari itu. Termasuk bahan bakunya. Dengan begitu, mereka punya kesadaran menghargai makanan,” jelas dia.
Standarisasi program Shokuiku di Jepang
Pakar gizi dari Kanagawa Institute of Technology Jepang Profesor Naomi Aiba menjelaskan, program shokuiku yang dijalankan di seluruh penjuru Negeri Sakura menggunakan aturan dasar atau basic law of Shokuiku dari pemerintah setempat.
“Program shokuiku dibuat standar untuk mempromosikan edukasi makan dan nutrisi yang dapat menjaga kesehatan fisik dan mental,” jelas Aiba.
Aiba menyampaikan, konsep praktik baik ini tak hanya dibuat searah dengan siswa hanya manut pada arahan. Tapi, siswa secara sadar didorong berani menyuarakan pilihan porsi sampai menu favorit, berbasis budaya makan sehat yang telah dilakoni sehari-hari.
“Dengan Shokuiku, anak-anak sejak dini punya kesadaran makan dengan menu bergizi lengkap dan seimbang setiap hari. Jadi, mereka punya pustaka hidup sehat untuk bekal saat dewasa nanti,” ujar Aiba.
https://health.kompas.com/read/2023/05/28/200100468/menilik-praktik-shokuiku-edukasi-makan-sehat-sejak-dini-ala-jepang