Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wah, Kok, Diagnosanya Beda, Sih?

Kompas.com - 27/07/2008, 18:41 WIB

3. Pemeriksaan Laboratorium

Yang termasuk di sini adalah foto rontgen, pemeriksaan urin, darah, dan sejenisnya. Bila hasil pemeriksaan dengan stetoskop dianggap belum bisa memastikan tingkat bahaya penyakit tersebut, biasanya pasien diminta melakukan pemeriksaan laboratorium. Dengan demikian, semakin banyak data yang diperoleh, hasilnya pun diharapkan akan semakin akurat. Namun tidak jarang, data yang kian banyak dan mungkin menunjukkan kontradiksi malah akan membingungkan. Hal ini biasanya terjadi pada pasien yang mengidap penyakit "misterius".

Dengan kelengkapan pemeriksaan seperti ini, biasanya perbedaan diagnosis antara dokter yang satu dengan yang lain, tipis kemungkinan akan terjadi. Berbeda halnya bila pemeriksaan dilakukan seadanya dan asal-asalan tanpa ditanya apa keluhan yang dirasakannya, tapi langsung diperiksa fisik yang sama sekali tak terkait.

Untuk mencapai ketepatan hasil diagnosis, biasanya memang diperlukan pemeriksaan lengkap selain jam terbang dokter yang bersangkutan. Bila pemeriksaannya tidak lengkap, radang paru bisa saja dibilang TBC atau sebaliknya. Nah, ketika memeriksakan diri ke dokter lain yang melakukan pemeriksaan lengkap, mungkin saja hasil diagnosisnya jadi berbeda. Demikian pula penyakit lain seperti kanker, jantung dan tifus.

Pasien atau orang tua pasien, pada dasarnya tidak dibenarkan membuka dan membaca sendiri hasil laboratorium, baik berupa hasil tes darah, sperma, kencing maupun rontgen. Yang berhak membacanya hanyalah dokter terkait, karena dialah yang "mengirim" pasien itu menjalani pemeriksaan lab.

Kalau pasien atau keluarganya tidak bisa memahami hasil yang tertera secara benar, ditakutkan malah terjadi salah persepsi. Selanjutnya, bukan tidak mungkin pasien atau keluarga pasien jadi tidak sepaham dengan apa yang dikatakan dokter, dan ini bisa menyulitkan proses penyembuhan.

Hasil laboratorium pun sebenarnya tidak bisa dijadikan patokan tunggal dalam penegakan diagnosis. Harus dikomparasi lagi dengan hasil pemeriksaan fisik dan anamnesis. Jadi, mungkin saja hasil pemeriksaan lab bertolak belakang dengan gejala yang diperlihatkan pasien. Bila hal ini terjadi, dokter yang sudah memiliki jam terbang cukup biasanya akan mengambil langkah-langkah berdasarkan pengalaman sebelumnya. Dengan begitu, kesalahan persepsi pasien, baik terhadap hasil laboratorium maupun terhadap dokter yang menanganinya bisa diminimalisir.

Tak Perlu  Kelewat Khawatir

Muljono menyarankan agar pasien yang pernah atau suatu saat mengalami diagnosis berbeda, tak perlu merasa kelewat khawatir. "Umumnya dokter tidak memberikan obat yang terkuat di awal terapi, melainkan obat yang relatif ringan dalam jumlah kecil."

Alasannya, selain dokter masih belum bisa menentukan penyakit pasiennya secara pasti, juga merupakan langkah antisipasi bila penyakit itu tidak sesuai dugaan. Dengan demikian, bila memang obat itu meleset, dampaknya tidak akan membahayakan pasien.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com