Namun, bila seseorang menyadari efek kopi yang meningkatkan detak jantung, ketika berhadapan dengan orang yang berperilaku kasar, ia cenderung menginterpretasi debaran jantungnya akibat minum kopi, bukan akibat perilaku orang di hadapannya.
Contoh yang sama juga dapat berlaku dalam situasi sosial yang berbeda. Ketika kita mengalami sensasi kehangatan akibat meminum satu sloki anggur (wine), bila sesaat kemudian di hadapan kita hadir seorang lawan jenis yang cukup menarik, bila tidak menyadari efek fisiologis dari anggur, maka kita cenderung menginterpretasi kehangatan itu sebagai efek dari kehadiran orang lain tersebut. Kita dapat jatuh cinta karenanya!
Dengan gambaran di atas, kita tahu bahwa emosi kita merupakan gabungan dari faktor fisiologis dan faktor proses mental (kognitif). Dengan pemahaman ini, kita dapat mengenali emosi-emosi yang melanda diri kita dengan lebih baik.
Kita dapat menelusuri apa yang membangkitkan emosi kita: adakah faktor fisiologis yang ikut berperan? Apakah kita mengonsumsi makanan, minuman, atau obat tertentu yang memengaruhi fisiologi tubuh kita? Apakah faktor hormonal, misalnya haid, menopause, andropause? Bila benar-benar tidak ada, maka kita dapat menyimpulkan bahwa emosi kita benar-benar dipicu oleh situasi sosial yang ada.
Dengan mengenali asal muasal emosi seperti itu, kita dapat lebih mengendalikan emosi. Seorang wanita yang menjadi mudah marah menjelang atau sedang haid, bila ia menyadari dampak situasi fisiologis haidnya, maka ia lebih dapat mengendalikan diri untuk tidak marah meski ada pemicu dari lingkungan sosialnya (pekerjaan tidak lancar, anak membuat kecewa, dan sebagainya). Bayangkan bila kemarahan itu kita lepaskan begitu saja. Mungkin, situasinya justru berkembang tidak menguntungkan.
- Respons adaptif
Emosi sering dipahami sebagai perasaan; dan perilaku dipengaruhi oleh perasaan. Bagaimana emosi memengaruhi perilaku? Dalam ilmu psikologi, seseorang yang menerima stimulus akan segera melakukan penilaian intuitif: baik atau buruk.
Penilaian ini menjadi petunjuk atau penentu perilaku. Pada binatang terdapat respons emosi primitif, yakni fight (berkelahi) atau flight (kabur). Demikian pula emosi kita, yang mengarahkan pada tindakan tertentu: mendekat atau menghindar.
Contohnya, bila kita diserang terus-menerus oleh seseorang yang penuh kuasa (powerful), maka kita akan merasa takut. Dalam situasi demikian, muncul insting lari/kabur (flight) yang biasanya terjadi dalam situasi ketika kita merasa tidak berdaya. Namun, bila serangan terus-menerus itu datang dari orang yang menurut kita kurang berkuasa, maka perasaan kita adalah marah. Dalam situasi demikian muncul insting berkelahi (fight) yang biasanya berkembang dalam situasi saat kita merasa dapat menjadi penentu (mengendalikan).
Tampak bahwa emosi memiliki peran penting dalam hidup. Emosi memiliki dua fungsi untuk adaptasi. Pertama, hal itu merupakan predisposisi untuk melakukan respon adaptif yang memungkinkan kita melakukan pertahanan hidup (survival). Kedua, hal itu memperkuat sosialitas (social ties) antara seseorang dan yang lain dalam kelompoknya.
Fungsi adaptif yang kedua ini tampak jelas dalam situasi sehari-hari. Emosi cinta orangtua terhadap anak membantu orangtua menentukan bagaimana perilakunya terhadap sang anak. Cinta romantis membantu perilaku pasangan untuk saling mendekat. Emosi negatif, seperti cemburu, marah, dan sebagainya, juga memiliki fungsi, yaitu meniadakan perilaku yang tidak diinginkan dalam relasi sosial.
Simpul
Satu hal yang perlu diingat adalah, kita memiliki kebebasan untuk mengendalikan emosi kita. Bila kita dapat mengendalikan emosi, berarti kita juga mengendalikan perilaku.
Kapasitas ini perlu diberdayakan, terutama bila memiliki kecenderungan mengembangkan emosi yang destruktif. Tanpa pengendalian emosi, tujuan hidup dalam jangka panjang mungkin tidak tercapai akibat perilaku kita berakibat fatal.
Mengendalikan emosi tidak berarti menekan emosi yang kita alami ke dalam alam bawah sadar, yakni dengan mengabaikan atau menganggap emosi itu tidak ada. Kita perlu mengakui emosi-emosi kita dalam hati, tanpa mengekspresikannya begitu saja.
Kita perlu mengekspresikan emosi dengan cara yang dapat diterima oleh lingkungan. Ini merupakan salah satu cara untuk tetap sehat. @
MM Nilam Widyarini M.Si
Kandidat Doktor Psikologi