Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menguak Misteri Tidur

Kompas.com - 19/05/2010, 05:48 WIB

Dalam salah satu episode serial yang diputar di televisi kabel, Law and Order: Special Victim Unit, ada kasus pembunuhan murid sekolah menengah khusus untuk anak-anak berbakat.

Lewat berbagai wawancara dan pengumpulan bukti-bukti, diketahui pembunuhnya adalah teman sekamar korban di asrama, sesama murid berbakat. Pelaku diadili dalam pengadilan remaja yang hukumannya lebih ringan karena terbukti dalam pengaruh obat yang mengganggu pola tidurnya.

Obat itu bisa membantu murid tahan belajar. Ia mampu berhari-hari tanpa tidur menyelesaikan tugas esai, membaca diktat, bahkan menganalisis permainan catur. Sarah Hyland yang bermain cantik sebagai Jennifer Banks—si pelaku pembunuhan—menunjukkan reaksi yang khas kekurangan tidur: cemas, sensitif berlebihan.

Dalam dunia nyata, reaksi kekurangan tidur ini sudah banyak dibuktikan. Salah satu yang fenomenal adalah ketika Randy Gardner (17) memecahkan rekor tidak tidur selama 264 jam (11 hari) pada akhir tahun 1963.

Menurut pengamatan William Dement, peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Stanford, California, AS, mood Gardner terus berubah, memori dan konsentrasinya hilang, koordinasi dan kemampuan bicara terganggu, serta mengalami halusinasi.

Sungguh, tidur memang bukan masalah sepele. Sudah banyak kecelakaan dan kejahatan terjadi karena gangguan tidur ini. The National Sleep Research Project mencatat, meledaknya pesawat ulang alik Challenger tahun 1986 yang menewaskan ketujuh astronotnya dipicu oleh kesalahan teknis gara-gara sang mekanik kurang tidur.

Penyebab serupa mengakibatkan meledaknya salah satu reaktor pada reaktor nuklir Chernobyl (1986) yang menyebarkan kontaminasi radioaktif hingga ke Belarus, Ukraina, dan Rusia.

Karamnya kapal tanker Exxon Valdez setelah menabrak karang di perairan Alaska (1989) juga terkait dengan gangguan konsentrasi. Kapal itu menumpahkan 41,8 juta liter minyak mentah dan mencemari garis pantai sepanjang 2.080 kilometer.

Namun, seperti ditulis Newscientist, sampai kini belum ada yang tahu berapa lama manusia mampu bertahan tanpa tidur. Yang pasti, kondisi tanpa tidur bisa berakibat fatal. Tikus percobaan di laboratorium yang terus-menerus dipaksa bangun akhirnya mati setelah dua minggu. Ini waktu yang jauh lebih pendek apabila dibandingkan dengan tikus yang dibiarkan mati kelaparan.

Dampak kesehatan

  Tidur memang merupakan topik penelitian paling kaya saat ini: mengapa manusia memerlukannya, mengapa susah untuk bisa tidur nyenyak, bagaimana tidur memengaruhi kemampuan motorik dan berpikir manusia, serta dampak pada kesejahteraan.

Daniel Kripke dari The Scripps Clinic Sleep Center di La Jolla, California, mengungkapkan bahwa tidur berkorelasi dengan banyak hal. Seperti dikutip majalah Time dan CNN, tidur tidak hanya terkait dengan berbagai penyakit, melainkan juga menentukan panjang pendeknya umur seseorang.

Lama tidur yang ideal adalah 6,5-7,5 jam pada malam hari. Kurang atau lebih dari itu ternyata bisa berdampak buruk. ”Kalau digambarkan seperti huruf U, artinya kekurangan atau kelebihan tidur sama saja akibatnya,” kata Kripke.

Hasil penelitian menunjukkan, mereka yang jam tidurnya ideal kebanyakan berumur panjang. Sebaliknya, orang yang tidur hingga delapan jam atau lebih dan tidur kurang dari 6,5 jam berumur lebih pendek.

Kekurangan atau kelebihan tidur juga berdampak pada depresi, kegemukan, dan munculnya penyakit jantung. Sayang, penelitian ini belum dilanjutkan dengan menguji apakah perubahan pola tidur bisa menyembuhkan mereka yang sudah terkena berbagai gangguan kesehatan di atas.

Pada anak-anak, dampak gangguan tidur sama buruknya. Sleep Disorders Center di Rumah Sakit Sacre-Coeur, Montreal, Kanada, membuat penelitian dengan hampir 1.500 anak berusia 2,5-6 tahun sebagai respondennya. Pada penelitian yang untuk pertama kalinya secara komprehensif melihat pengaruh tidur pada anak-anak tersebut, orangtua diminta mengisi kuesioner tentang jumlah waktu tidur anak pada malam hari, hiperaktivitas, impulsivitas, gangguan konsentrasi, dan tingkat kengantukan pada siang hari.

Hasilnya, 50 persen anak rata-rata tidur 10 jam pada malam hari. Jumlah ini sesuai dengan rekomendasi waktu tidur untuk anak pada usia prasekolah.

Namun, ada 6 persen anak yang waktu tidurnya kurang dari 10 jam. Menurut Dr Jacques Montplaisir, peneliti utama program ini, anak-anak dengan waktu tidur pendek ternyata koleksi kosakatanya sedikit dan kurang memuaskan hasil tes kognitifnya.

”Satu jam kekurangan tidur berkorelasi dengan tiga kali penurunan kepandaian dan kemampuan anak berkomunikasi,” katanya.

Juga tidak mengherankan bila kekurangan waktu tidur terkait dengan tingginya hasil tes hiperaktivitas dan impulsivitas pada anak-anak berusia enam tahun. Hasil ini konsisten dengan temuan bahwa waktu tidur yang cukup akan meningkatkan kemampuan anak berkonsentrasi.

Walaupun demikian, psikolog Prof Jodi Mindell dari Universitas Saint Joseph di Philadelphia, AS, mengingatkan untuk tidak buru-buru khawatir bila ada anak-anak yang jam tidurnya kurang. ”Penelitian Montplaisir perlu mengukur faktor-faktor lain agar hasilnya lebih akurat,” katanya.

Bisnis besar

   Apa boleh buat. Pada era serba komodifikasi sekarang, persoalan tidur akhirnya menjadi bisnis besar. Dengan memasukkan kata kunci sleep research pada mesin pencari di internet, muncul 5.400.000 hasil.

Selain itu, ada begitu banyak pusat penelitian, organisasi, bahkan jurnal yang khusus membahas tidur. Sebutlah di antaranya Journal of Sleep Research, Sleep Research Society, Center for Sleep Research, hingga American Board of Sleep Medicine.

Organisasi yang terakhir disebut di atas tampaknya perlu karena untuk mengatasi gangguan tidur di AS saja setiap tahunnya lebih dari 50 juta pil tidur diresepkan dokter pada tahun 2008. Masyarakat juga membelanjakan lebih dari 600 juta dollar AS per tahun untuk membeli suplemen kesehatan yang bisa mempercepat kantuk, seperti melatonin dan akar valerian.

Ungkapan Benjamin Franklin, salah satu Bapak Bangsa AS, memang tidak berlebihan. Tidur cepat, bangun cepat, adalah kunci kesehatan, kesejahteraan, dan kebijaksanaan. Ternyata itu mahal harganya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau