Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mencari Mutiara di Balik Cangkang

Kompas.com - 06/02/2011, 13:15 WIB

Kesulitan mereka untuk belajar sama sekali bukan disebabkan tingkat kecerdasan yang rendah. Marie Fauzan (13) yang kini duduk di bangku kelas I sebuah SMP di pinggiran Jakarta, misalnya, sudah lima kali dikeluarkan dari sekolah-sekolah sebelumnya. Padahal, IQ-nya mencapai 120 atau di atas rata-rata.

Anak-anak ini berbeda dan berkebutuhan khusus, tetapi mereka juga kaya akan potensi. Brandon (9) yang kata ibunya sangat bandel, misalnya, bisa membaca buku atau majalah dalam bahasa apa pun dengan mata tertutup kain tebal. ”Membaca” dengan rabaan tangan itu merupakan salah satu kemampuan Brandon yang juga sering disebut sebagai anak indigo.

Brandon pula yang mencengangkan para undangan di acara temu anak spesial ini dengan ceramahnya dalam dua bahasa tanpa teks.

”Apa teman-teman pernah membayangkan apa jadinya kalau alam semesta dan semua yang ada di dalamnya hanya berwarna merah? Tentu tidak indah. Pelangi saja punya banyak warna, musik punya banyak nada, jari-jari kita pun tidak sama. Kami juga berbeda, tetapi kami punya banyak bakat,” ujarnya.

Penampilan Young Boys juga tak kalah mengagumkan. Empat remaja: Andreas, Kenan, Yongki, dan Clyde, yang bergabung dalam kelompok ini bukan sekadar pemain piano, mereka juga komposer dan arranger. Mereka bukan hanya berprestasi di ajang nasional, melainkan juga mengukir prestasi hingga ke luar negeri.

Di Gedung Bentara, keempat remaja ini memainkan dua piano yang ditata saling membelakangi. Lantunan lagu klasik hingga tradisional Jawa disajikan dengan sangat atraktif. Misalnya, mereka memainkan tuts piano sambil bertukar posisi, bahkan sambil berdiri dengan masing-masing tangan memencet tuts di piano berbeda.

Jalan untuk menemukan dan mengasah mutiara memang tidak pernah mudah. Selalu ada kekhawatiran membayangi orangtua ketika anaknya dikategorikan berkebutuhan khusus.

Aji yang mempunyai dua anak berkebutuhan khusus, misalnya, tak luput dari kesedihan ketika kedua anaknya didiagnosis begitu. Namun, ia menyadari Tuhan tak salah mengamanatkan dua anak istimewa itu kepadanya.

”Dua bintang kan pangkat yang lebih tinggi dari satu bintang,” ujarnya berkelakar.

Kata Harry Darsono, doktor dan perancang adibusana yang serba bisa, yang sempat belasan tahun menjalani terapi sebagai pengidap ADHD, ketakutan ini mesti ditepis dengan keyakinan. Tuhan pasti memberikan kemampuan kepada anak-anak istimewa ini untuk menemukan jalan mereka sendiri menuju kemandirian.

Nur Hidayati

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau