Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Krisis Nuklir Kian Memburuk

Kompas.com - 18/03/2011, 02:26 WIB

Tokyo, Rabu - Krisis nuklir Jepang memburuk. Paparan radiasi nuklir dilaporkan meningkat dan meluas. Banyak negara mendesak warganya keluar dari Jepang setelah helikopter militer menuangkan berton-ton air ke Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi, Kamis (17/3).

Para ahli dari Amerika Serikat memperingatkan, paparan radiasi nuklir semakin memburuk dan sudah melampaui batas yang telah diperingatkan sebelumnya. Radius lokasi teraman dari paparan radiasi adalah di luar 80 kilometer.

Pejabat AS memperingatkan warga yang tinggal dalam radius 80 km dari PLTN untuk mengungsi atau berlindung. Pemerintah Jepang mengatakan, zona paling aman adalah di luar radius 30 km. Lebih dari 200.000 orang telah dievakuasi.

Kepala Badan Nuklir Perserikatan Bangsa-Bangsa Yukiya Amano menyatakan akan berkunjung ke Jepang guna melihat apa yang disebutnya sebagai situasi ”sangat serius” dan mendesak Tokyo untuk memberikan informasi yang baik kepada lembaganya.

Pejabat AS di Washington DC menyatakan, PLTN Fukushima Daiichi di Jepang timur laut, Honshu, diduga sudah menguapkan lebih banyak partikel radioaktif setelah ledakan dan kebakaran.

Kolam kosong

Kondisi makin kritis karena kolam penyimpan bahan bakar bekas telah kosong akibat kebakaran.

Sebelumnya dilaporkan, terjadi ledakan dan kebakaran beruntun di kompleks PLTN sejak Sabtu pekan lalu. Insiden dimulai di reaktor Unit 1 lalu merambat ke Unit 3, Senin, dan kebakaran pada kolam penyimpan bahan bakar Unit 4, Selasa. Kejadian itu diikuti oleh kebakaran di Unit 4, Rabu. Suhu di Unit 5 dan 6 pun meningkat.

Ledakan dan kebakaran dilaporkan telah mereda. Meski demikian, empat helikopter militer, CH-47 Chinook, dikerahkan untuk mencurahkan berton-ton air laut ke PLTN tersebut. Langkah itu memicu kepanikan baru di Jepang, termasuk warga asing.

Empat helikopter berbaling-baling ganda tersebut merupakan milik Pasukan Bela Diri Jepang. Setiap helikopter membawa empat ember raksasa bermuatan sekitar 6 ton air untuk disiramkan ke reaktor Unit 3 dan 4, menurut siaran televisi NHK.

Operasi itu bertujuan untuk menurunkan suhu batang bahan bakar nuklir yang panas agar tidak melepaskan radioaktif ke udara. Meriam air polisi juga dikerahkan untuk mendukung upaya tersebut. Perlengkapan pemadam kebakaran juga telah digunakan sebelumnya untuk menurunkan suhu panas.

Misi helikopter itu dimulai pada saat cuaca cerah setelah upaya pertama tertunda sehari akibat pancaran radiasi tinggi disertai angin kencang.

Juru bicara Kementerian Pertahanan Jepang, Kazumi Toyama, menjelaskan, Chinook mulai menuangkan air pada pukul 09.48 waktu setempat ke Unit 3 yang telah rusak sebelumnya. Namun, banyak dari air itu tak jatuh ke sasaran karena tertiup angin.

Toyama mengatakan, air dituangkan untuk mengisi kolam bahan bakar bekas yang kosong. Sebelumnya, Operator PLTN, Tokyo Electric Power Co (Tepco), menjelaskan, kolam sudah nyaris kosong hingga menyebabkan batang bahan bakar reaktor kepanasan dan terancam akan meleleh.

Komentar para pejabat AS menunjukkan, ada masalah yang sama pada unit-unit lain PLTN. Ketua Komisi Pengaturan Nuklir AS Gregory Jaczko dalam pertemuan Kongres AS di Washington mengatakan, kolam penampung bahan bakar bekas Unit 4 telah kosong. Diduga kuat, airnya dibuang ke laut untuk mencegah meluasnya kebakaran Unit 4.

Pekerja darurat dipaksa mundur dari lokasi PLTN, Rabu, ketika tingkat radiasi meningkat dan dianggap membahayakan. Mereka kembali bekerja setelah tingkat radiasi menurun. Namun, sebagian besar peralatan pemantau di PLTN itu tampak bermasalah.

”Kami takut ketinggian kolam air di Unit 4 telah menurun,” kata Hikaru Kuroda, dari fasilitas manajemen resmi di Tepco. Namun, dia menambahkan, ”Karena kami tidak bisa mendekati lokasi, satu-satunya cara untuk memantau situasi adalah hanya dengan melihat dari jarak jauh.”

Kolam penyimpanan memerlukan sumber air pendingin dalam jumlah konstan. Ini bertujuan mempertahankan radioaktif agar tidak bocor. Namun, para teknisi Jepang yakin, mereka dapat memulihkan krisis pada reaktor nuklir PLTN tersebut.

Ancaman bencana nuklir hanya menambah penderitaan dan frustrasi yang luas bagi para korban bencana. ”Kecemasan dan kemarahan warga Fukushima telah mencapai puncak,” kata Gubernur Prefektur Fukushima Yuhei Sato dalam wawancara dengan NHK. Ia mengatakan, persiapan evakuasi tidak memadai.

Tak perlihatkan luka

Bocoran radiasi merupakan faktor yang menambah beban bagi warga Jepang. Di luar isu radiasi nuklir, sejumlah warga di dekat lokasi gempa mengalami kekurangan pasokan pangan, kedinginan karena salju turun, dan pemadaman karena aliran listrik putus. Namun, kepanikan tidak muncul, kecuali akibat rentetan ledakan di PLTN.

Seorang warga AS, Mandy Hlubeck, bertutur tentang pengalamannya saat hengkang dari Sapporo menuju Atlanta. Ia telantar sendirian di Sapporo, Jepang utara, dua hari setelah gempa menimpa 11 Maret lalu. Namun, ia diberi uang dalam bentuk yen untuk membeli minum karena uang yang dipegangnya bukan dalam bentuk yen. ”Saat di dalam pesawat saya diberi kue oleh sepasang suami-istri di pesawat. Mereka sungguh baik,” kata Hlubeck, seraya menyatakan bahwa setiap orang begitu bermurah hati.

Doktor Don Sisk, Presiden Emeritus Baptist International Missions Incorporated, juga dari AS, bercerita soal pengalaman serupa. ”Warga Jepang tidak panik sebagaimana jika itu terjadi di AS. Mereka terluka di dalam, tetapi tidak memperlihatkan keluar.”

John Nelson, seorang pakar kawasan Asia dari University of San Francisco, menjelaskan fenomena tersebut. Ia mengatakan, orang Jepang tidak akan meratapi yang sudah terjadi. ”Mereka malah bertanya, apakah yang dilakukan selanjutnya,” tuturnya.

Nelson mengatakan, masyarakat Jepang terlihat sekuler. Namun, dalam kasus tertentu, mereka akan kembali memegang nilai-nilai tradisional. ”Ada ucapan terkenal di Jepang bahwa orang-orang akan kembali ke dewa-dewa jika sedang dalam kesulitan. Dan saya kira itu yang kita lihat sekarang ini,” lanjut Nelson. Ia menambahkan, acara-acara ritual Shinto dan Buddha memengaruhi kehidupan Jepang.

Duncan Williams, seorang biksu, juga memberi penjelasan. Pengaruh Buddha menjadi faktor utama di balik kesabaran, daya tahan, serta pengorbanan dalam sebuah tragedi.

Hal itu juga didukung oleh Ian Reader, profesor ahli Jepang dari University of Manchester (Inggris), serta Brian Bocking, pakar budaya Asia dari University College Cork (Irlandia).

(AFP/AP/REUTERS/CAL/MON)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau