Kompas.com - Susah buang air besar (BAB) yang berlarut-larut sebaiknya jangan dianggap enteng. Selain menimbulkan rasa tidak nyaman di perut, kesulitan BAB juga bisa menjadi gejala gangguan pada fungsi saluran cerna.
Susah BAB atau konstipasi merupakan masalah yang banyak dialami penduduk di dunia. Angka kejadiannya semakin meningkat. Sebagai contoh di Amerika Serikat setiap tahunnya terdapat 2,5 juta kunjungan pasien karena keluhan konstipasi dan tiap tahunnya dokter meresepkan 3 juta obat pencahar. Salah satu penyebabnya adalah pola makan yang kurang serat serta kurang berolahraga.
Menurut dr.Ari Fahrial Syam, Sp.PD-KGEH dari departemen gastroenterologi RSCM Jakarta, konstipasi kronis mengacu pada buang air besar yang tidak teratur, biasanya tidak sampai tiga kali dalam seminggu, di mana tinjanya keras dan sulit keluar, dan kondisi ini berlangsung selama tiga bulan.
Berdasarkan penyebabnya konstipasi dapat dikategorikan menjadi konstipasi dengan waktu transit lambat, konstipasi akibat lemahnya otot dasar panggul, konstipasi yang disebabkan oleh kombinasi keduanya, serta konstipasi pada irritable bowel syndrome.
Waktu transit sendiri diartikan sebagai waktu yang dibutuhkan oleh makanan untuk melewati saluran pencernaan mulai dari mulut hingga usus. Normalnya waktu transit bervariasi mulai 15 hingga 20 jam dengan waktu transit pada kolon 12 hingga 72 jam.
"Pada orang yang waktu transitnya normal, ia merasakan ada mulas tetapi sulit mengeluarkan tinja. Sementara itu orang yang waktu transitnya lambat, biasanya tidak ada rasa mulas sama sekali namun perut terasa tidak nyaman," katanya di acara media edukasi Kesehatan Pencernaan:Awal Hidup Sehat di Jakarta (25/5).
Konstipasi kronik sebagian besar disebabkan oleh gaya hidup, namun ada beberapa kondisi yang diakibatkan penyakit organik, misalnya tumor, polip, atau pun kanker usus. "Semakin lama kotoran di dalam perut, kontak dengan dinding usus bertambah sehingga rawan menyebabkan perubahan atau mutasi sel pada dinding usus," paparnya.
Gangguan "ke belakang" ini sebaiknya jangan diabaikan. "Data kolonoskopi atau teropong usus di RSCM menemukan sebagian besar mengalami ambien dan 8 persen adanya kanker pada pasien yang konstipasi," katanya.
Menurut dr.Ari ada beberapa tanda yang harus diwaspadai antara lain ditemukan darah dalam tinja, berat badan turun lebih dari 5 kg, mengalami demam kronik, mual dan muntah, serta makin lama konstipasi semakin berat. "Segera periksakan diri ke dokter, terlebih jika dalam keluarga ada riwayat kanker atau tumor usus," katanya.
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mencegah dan mengobati konstipasi, misalnya memperbanyak konsumsi serat, perbanyak aktivitas fisik, minum air putih sedikitnya dua liter setiap hari, serta mengonsumsi probiotik.
"Perubahan gaya hidup ini merupakan terapi utama pasien konstipasi sebelum diresepkan obat-obatan pencahar," kata dr.Herry Djagat Purnomo, Sp.PD-KGEH, ketua kelompok kerja probiotik Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia.
Bila dalam 2-4 minggu tidak ada perubahan pada pola BAB, dokter baru merekomendasikan obat-obatan pencahar. Sementara itu pada pasien yang memiliki pola transit lambat, selain perubahan gaya hidup dokter juga akan memberikan obat yang berfungsi merangsang kerja usus.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.