Jakarta, Kompas - Banyaknya kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak akhir-akhir ini merupakan indikasi buruknya kesehatan mental masyarakat. Apabila tidak ditangani serius, fenomena ini bisa berkembang menjadi gangguan antisosial, bahkan psikopat.
Kondisi ini, menurut Nalini Muhdi, psikiater RSUD Dr Soetomo Surabaya, ketika dihubungi Kompas, tidak bisa dibiarkan.
Beberapa kasus kekerasan oleh anak terus terjadi. Kasus paling baru menimpa siswa SD Negeri Cinere 1, SM (12), yang ditemukan nyaris tewas di got Perumahan Bukit Cinere Indah, Cinere, Kota Depok, Jawa Barat, Jumat (17/2) pagi, dengan delapan luka tusuk di perut, tangan, dan betis. Anak pasangan tunanetra ini diduga ditusuk teman sekelasnya, Amn (13). Peristiwa itu dipicu oleh pencurian telepon seluler milik SM oleh Amn, Rabu lalu.
”Kekerasan dan kriminalitas oleh anak termasuk gangguan tingkah laku pada anak. Jika tidak tertangani bisa berkembang menjadi gangguan antisosial, bahkan psikopat,” kata Nalini.
Gangguan tingkah laku semacam itu bisa terjadi karena anak-anak terbiasa melihat kekerasan, baik langsung maupun tidak langsung. Akibatnya, anak- anak menganggap kekerasan sebagai cara menyelesaikan masalah. Banyak faktor yang memengaruhi timbulnya gangguan tingkah laku, mulai dari faktor biologis berupa kelainan pada kromosom hingga faktor psikososial. ”Harus ada observasi mendalam tentang masa kecilnya, keluarganya, lingkungan tempat tinggalnya, dan proses belajarnya. Juga perlu dilihat seperti apa perasaan dia (pelaku) saat melakukan kekerasan. Penusukan sampai berkali-kali, bahkan sampai tembus ke bagian tubuh lain, menunjukkan impulsivitas luar biasa,” ujar Nalini.
Sayangnya, ungkap Nalini, buruknya kesehatan mental masyarakat belum menjadi perhatian pemerintah. Akar permasalahan belum dibicarakan. Ini sudah lampu merah! Masyarakat harus ikut bertanggung jawab.
Seto Mulyadi, pemerhati anak, menilai, kekejaman Amn adalah pelampiasan karena ia sering mendapat kekerasan. Itu dimungkinkan karena Amn tidak tinggal bersama orangtua.
Selain itu, kata Erita Nurhetali, Koordinator Psikologi Terapan Intervensi Sosial Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, lingkungan hidup tersangka, seperti sekolah dan tempat dia tinggal, juga sudah rusak. Terbukti kontrol sosial atas perilaku Amn tidak berjalan.
”Dia dengan mudah mengabaikan sistem nilai yang seharusnya menjadi acuan. Tidak ada nilai agama dan sosial yang dipegangnya,” tutur Erita.
Tersangka ditangkap