Oleh Susie Berindra dan Fabiola Ponto
Frustrasi, sedih, dan tak berdaya. Perasaan itu menyeruak tatkala Prita Kemal Gani tidak mampu berkomunikasi dengan putri bungsunya, Raysha Dinar Kemal Gani, yang kini berusia delapan tahun.
Tak terlintas di benaknya, Raysha akan terdiagnosis autistik. Sebelum berusia 18 bulan, Raysha suka mengikuti Prita menyanyi dan menghitung. Raysha juga bisa diajak bermain petak umpet. ”Kalau saya menyanyi old MacDonald had a farm, dia akan menyahut, e-i-e-i-o,” tutur Prita mengenang.
Menginjak usia 18 bulan, Raysha mengalami kemunduran. Dia tak mampu berkomunikasi. Saat Prita membawanya ke dokter, hasil kajian menunjukkan Raysha mengalami autistik.
Tak begitu saja menerima hasil itu, dibawanya sang putri berobat ke Australia dan Singapura. Mereka berharap diagnosa dokter tak benar. Akan tetapi, hasilnya sama.
”Raysha mengalami gangguan spektrum autistik sehingga menggunakan komunikasi nonverbal untuk mengungkapkan sesuatu,” tutur Prita. Ia menambahkan, autistik tak ada obatnya. Semua yang dilakukan adalah early intervention (intervensi dini).
Bagi pendiri London School of Public Relations (LSPR) ini, mempunyai putri autistik menjadi ”cambuk”. Matanya terbuka untuk berbuat sesuatu bagi orang lain.
”Awalnya saya berpikir, kenapa saya? Lalu, ibu saya mengingatkan, kalau kita mendapat sesuatu, berarti Tuhan mengirim pesan,” ujarnya.
Prita dan suami segera mencari berbagai informasi mengenai autisme. Dia juga berusaha mengetahui apa yang disenangi putrinya. Berbagai hal tentang intervensi dini untuk anak autistik, diet makanan, dan pendidikan khususnya, dia pelajari.
”Sedikit demi sedikit saya melihat Raysha menyenangi kegiatan luar ruangan, seperti naik kuda, berenang, atau bermain dengan lumba-lumba,” ujarnya.