JAKARTA, KOMPAS - Sebanyak 43 persen tempat bersalin ibu masih di rumah. Persalinan ini lebih berisiko bagi kesehatan ibu melahirkan dan bayinya. Hingga kini, tingginya angka kematian ibu masih menjadi masalah besar di Indonesia.
Berdasarkan riset kesehatan dasar tahun 2010, persalinan di rumah berarti bukan di fasilitas kesehatan, polindes, atau poskesdes. Sebesar 51,9 persen persalinan di rumah dibantu bidan, 40 persennya dibantu dukun.
”Di Indonesia, dukun menjadi mitra dalam persalinan. Persalinan jangan di rumah dan harus ditolong bidan,” ujar Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti pada lokakarya ”Pelayanan Kebidanan” yang diadakan Kementerian Kesehatan, pekan lalu.
Ali Ghufron mencontohkan, di Singapura, melahirkan di klinik pun dilarang. Di Malaysia, melahirkan dengan bantuan dukun tak lagi dibolehkan.
Penelitian Women Research Institute di tujuh kabupaten tahun 2009, kepercayaan masyarakat masih tinggi terhadap dukun beranak serta berbagai mitos seputar kehamilan, perempuan hamil, dan prosesi kelahiran. Proses melahirkan pun masih dianggap proses alami yang bisa dilakukan alami.
Walaupun di sejumlah negara Eropa, seperti Belanda, muncul tren melahirkan di rumah, Ali Ghufron menyarankan perempuan jangan melahirkan di rumah. Hal itu dilatarbelakangi tingginya angka kematian ibu di Indonesia, yakni 228 per 100.000 kelahiran hidup (Survei Demografi Kesehatan Indonesia, 2007). Angka ini 3-6 kali lebih besar dibandingkan negara lain di ASEAN.
Persoalan lain
Ketua Institute for Ecosoc Rights Sri Palupi mengatakan, persalinan di rumah merupakan cermin kompleksnya persoalan, tak semata dimensi kesehatan. ”Di Nusa Tenggara Timur, keputusan tempat melahirkan tak sepenuhnya di tangan perempuan, tapi keluarga laki-laki,” ujarnya.
Hambatan budaya itu berkelindan dengan rentetan masalah besar lain, yakni ketersediaan fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, kemiskinan, ketersediaan transportasi, dan jarak. Berbagai daerah mengalami kompleksitas masalah itu.
Menurut dia, tingginya persalinan di rumah juga gambaran belum adanya perspektif hak asasi manusia dalam pembangunan. Setidaknya, ada empat indikator keberadaan perspektif hak asasi manusia itu, yakni ketersediaan pelayanan dasar; keterjangkauan fisik, ekonomi, ketiadaan diskriminasi, dan keadilan informasi; kualitas pelayanan dan sumber daya manusia; serta fleksibilitas dalam arti kebijakan dapat diterima secara budaya dan konteks masyarakat.
Program pemerintah juga harus membantu perempuan mengatasi hambatan nyata, di antaranya soal anggaran. (INE)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.