Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 04/07/2015, 16:00 WIB

Seketika cahaya wajah Marni (27) meredup. Tatapan matanya kosong. Petugas Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Senin (29/6), baru saja menyatakan berkas pendaftaran gugatan cerainya belum lengkap. Sakit hati diselingkuhi dan perlakuan kasar dari suami membuat ibu dua anak berumur 3 tahun dan 4 tahun itu memberanikan diri mengajukan cerai.

Meski bolak-balik datang ke pengadilan agama, berkas gugatan Marni belum juga lengkap. Ini untuk pertama kali ia berhadapan dengan pengadilan, seorang diri, tanpa pengacara.

Sejak tahu perselingkuhan suaminya, perempuan yang menikah di usia 21 tahun itu kerap mendapat perlakuan kasar dari suami. Dua tahun terakhir ia berusaha mempertahankan rumah tangga karena takut tak bisa menafkahi anak-anaknya. "Untuk bekerja sebagai buruh pabrik lagi, usia tak memungkinkan lagi," katanya yang saat lajang pernah jadi buruh pabrik tekstil di Bogor, Jawa Barat.

Ia baru berani mengajukan cerai setelah kerabatnya menjelaskan hak-hak yang bisa ia tuntut lewat pengadilan, khususnya hak menafkahi anak dari suami meski sudah bercerai. Namun, Marni tak tahu apa harapannya bakal terwujud.

Proses pengadilan yang panjang dan melelahkan juga dialami Indres Wari Tigi (26). Hari itu, ibu seorang anak berusia 2 tahun itu seharusnya menghadapi sidang kedua gugatan cerainya dengan agenda mendengarkan keterangan suami dan saksi. Namun, mereka tidak hadir sehingga sidang ditunda sampai Agustus.

Indres menikah di usia 22 tahun. Ia rela melepas kuliahnya demi fokus membangun rumah tangga. Namun, rumah tangganya hanya bertahan satu tahun. Dua tahun ini ia pisah rumah dengan suami karena pertengkaran kian meruncing. "Dulu saat pacaran, semua terasa indah, ia tak pernah kasar," katanya.

Indahnya masa pacaran dan runyamnya kehidupan rumah tangga juga dialami Rieta (24), warga Condet, Jakarta Timur, yang menikah di usia 18 tahun. Setelah menikah, sikap suaminya mulai berubah. Setelah dikaruniai anak, suami jarang pulang. Bahkan, ia pernah memergoki suaminya selingkuh dengan perempuan lain. "Kalau bukan karena anak, sejak tiga tahun lalu kami pisah," katanya.

Nafkah bagi anak adalah pertimbangan utama. Kini, setiap bulan suami memberikan Rp 1 juta dari gajinya sebagai buruh untuk membayar kontrakan dan biaya anak. "Sekarang saya sudah mendapat pekerjaan. Jadi, saya siap bercerai," tuturnya.

Gugatan istri

Setiap tahun, ada 2-2,5 juta perkawinan di Indonesia. Namun, 10-15 persen berakhir dengan perceraian. Pada 2014, setiap jamnya ada 44 kasus perceraian yang diputus pengadilan agama.

Peneliti Pusat Kesehatan Mental Masyarakat Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Rahmat Hidayat di Kompas, 27 Desember 2013, menyebut masyarakat sedang berubah. Dulu perceraian dianggap aib diri dan keluarga. Kini, cerai lebih mudah diputuskan. "Pernikahan tak lagi dianggap sebagai tujuan hidup, tetapi jalan mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan hidup," katanya.

Dari kasus cerai yang diputus pengadilan agama di Indonesia, 70 persen diajukan istri atau cerai gugat. Sisanya adalah cerai talak yang diajukan suami. Pemicu utama perceraian adalah ketidakharmonisan, ekonomi, dan hadirnya pihak ketiga.

Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Kehidupan Keagamaaan Kementerian Agama menunjukkan gugat cerai tak hanya dilakukan perempuan yang bekerja dan memiliki penghasilan sendiri. Banyak pula diajukan oleh istri yang tak bekerja demi mengakhiri ketidakbahagiaan.

"Perempuan sudah punya kesadaran untuk bertindak menghadapi ketidakadilan yang mereka hadapi," ujar Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kemenag Muharam Marzuki.

Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang juga Wakil Ketua II Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Budi Wahyuni mengatakan, tingginya kasus gugat cerai bukan bentuk perlawanan istri pada suami, melainkan pada ketidaknyamanan hidup.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com