Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 04/07/2015, 16:00 WIB

"Dalam rumah tangga, istri dan anak masih dianggap sebagai obyek. Akibatnya, komunikasi dan relasi kekuasaan di dalam keluarga buruk," ujarnya.

Peneliti perceraian yang juga dosen Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar Asniar Khumas menjelaskan, tingginya perceraian disebabkan tak ada lagi daya tarik positif dalam berumah tangga. Kekerasan, perselingkuhan, dan tiadanya tanggung jawab suami jadi daya tarik negatif pemicu perceraian. "Perempuan tak akan menggugat cerai jika ada dukungan dari keluarga," ucapnya.


Mediasi

Meski kasus cerai di Indonesia amat tinggi, Muharam mengatakan, negara tak serta-merta mengabulkan permohonan cerai. Mediasi harus dilakukan, khususnya oleh keluarga besar pasangan. Namun, mediasi itu tak sekadar meminta pasangan yang berkonflik untuk berdamai, tetapi juga harus mencari solusi dari masalah yang dihadapi.

"Jika keluarga tak bisa, negara melalui Kementerian Agama dan Mahkamah Agung akan memediasi melalui Badan Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP4)," ujarnya.

Masalahnya, dukungan keluarga saat ini kian berkurang. Cepatnya proses transformasi sosial ekonomi dan perubahan demografi membuat banyak pasangan suami-istri hidup terpisah dari keluarga besarnya. Akibatnya, dukungan, kontrol, dan pengaruh keluarga besar kian berkurang. Mediasi dan petuah dari tetua keluarga kepada pasangan suami-istri pun tak ada.

Namun, Asniar mengingatkan proses mediasi yang dilakukan lembaga negara tak optimal dan struktural. Terbatasnya jumlah dan kemampuan tenaga yang ada serta tak adanya psikolog atau konselor perkawinan membuat proses mediasi hanya formalitas.

Persoalan lain yang memicu tingginya perceraian adalah kurangnya konseling pranikah yang mampu membekali calon pengantin dengan kemampuan mengelola keluarga. Padahal, banyak calon pengantin tak paham hakikat dan tujuannya menikah.

Keputusan menikah pun diambil begitu mudah. Orangtua pun umumnya hanya melihat kesiapan seseorang menikah berdasarkan umur dan faktor ekonomi, tanpa memperhatikan kesiapan mental emosional dan psikososial. Akibatnya, sedikit muncul masalah keluarga, keputusan cerai langsung diambil.

Semua itu membuat keluarga Indonesia kian rapuh. Bukan hanya menimbulkan pilu bagi suami-istri yang bercerai, melainkan juga bagi anak-anak mereka yang masih kecil. Lantas, bagaimana mungkin menumbuhkan generasi penerus bangsa berkualitas jika mereka tumbuh dalam keluarga yang rapuh? (B01/B02/DNE/MZW)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com