Sekretaris Bidang Ilmiah Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), yang juga konsultan gastrohepatologi anak, Muzal Kadim, Rabu (29/7) di Jakarta, mengatakan, di lapangan ditemukan banyak bayi atau anak terinfeksi hepatitis. Padahal, pemerintah memprogramkan imunisasi hepatitis B pada bayi baru lahir sejak 1997.
"Dalam seminggu, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, setidaknya ada satu pasien hepatitis anak. Kami heran, kok masih banyak anak kena hepatitis. Infeksi hepatitis secara vertikal biasanya lebih berat dibandingkan yang horizontal (transfusi darah dan penggunaan jarum suntik tak steril)," ujar Muzal.
Senior Research Fellow and Specialist Physician Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Prof David Handojo Muljono, mengatakan, hasil Riset Kesehatan Dasar 2007 menunjukkan, ada 7,32 persen populasi di kelompok usia 1-4 tahun yang memiliki antigen hepatitis B (HBsAg) positif. Itu berarti ada anak balita terinfeksi hepatitis dari ibunya.
Dalam kajian serologi dan biomolekuler pada 943 ibu hamil di Makassar, Sulawesi Selatan, periode Juni-Agustus 2014, ditemukan 6,8 persen ibu hamil positif hepatitis B. Virus hepatitis B juga ditemukan pada tali pusat (10,93 persen) dan plasenta (21,67 persen).
Penelitian David pada populasi berusia 18-41 tahun di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, yang dipublikasikan dalam Journal of Medical Virology 2015 menemukan, masih ada HBsAg positif pada remaja dan dewasa muda.
Terlambat diimunisasi
Penularan hepatitis dari ibu ke bayi seharusnya tak terjadi jika imunisasi hepatitis diberikan pada bayi kurang dari 12 jam setelah lahir. Apalagi, program nasional vaksinasi hepatitis sudah berjalan sejak 1997.
Muzal menduga, banyak anak balita positif terinfeksi hepatitis B karena terlambat diimunisasi. Dalam waktu kurang dari 12 jam setelah lahir, bayi harus sudah diimunisasi hepatitis B dan diberi vitamin K. Itu bisa memberi perlindungan dari virus hepatitis hingga 80 persen. Imunisasi setelah lebih dari sehari tak efektif mencegah infeksi hepatitis.
Guru Besar Emeritus Ilmu Penyakit Dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Ali Sulaiman, menambahkan, vaksinasi mereka yang tak segera diimunisasi saat dilahirkan harus menjadi perhatian pemerintah. Bayi dari ibu positif hepatitis yang waktu lahir tak diimunisasi berpotensi menularkan virus hepatitis kepada orang lain.
Menurut Muzal, virus dalam tubuh bayi atau anak akan memasuki fase imunotoleran. Jadi, virus tetap hidup dalam tubuh dan merusak sel hati tetapi tak dikenali tubuh sebagai benda asing. Akibatnya, perusakan sel hati terus terjadi.
Begitu masuk fase imunoaktif, tubuh akan menghancurkan sel- sel hati karena ada virus hepatitis. Tubuh sudah melihat virus hepatitis sebagai benda asing. Pengerasan hati lalu terjadi.
"Virus hepatitis memakai DNA kita sendiri untuk menghancurkan hati. Jadi, pemeriksaan kesehatan hati secara rutin penting dilakukan," ujar Muzal.
Penularan hepatitis dari ibu ke bayi seharusnya bisa dicegah dengan imunisasi. Sayangnya, menurut David, Indonesia tak punya data dan surveilans hepatitis yang baik sehingga intervensi kebijakan belum berjalan baik.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama memaparkan, prevalensi hepatitis berdasarkan anamnesis tahun 2013 bagi semua kelompok usia adalah 1,2 persen, meningkat dibandingkan tahun 2007 yang 0,6 persen. Jenis hepatitis terbanyak menginfeksi penduduk Indonesia adalah hepatitis B.
Direktur Unit Transfusi Darah Palang Merah Indonesia Ria Syafitri menambahkan, pada 2014 dari 2,8 juta kantong darah yang diperoleh PMI dari donor ada 1,45 persen reaktif virus hepatitis B dan 0,37 persen reaktif virus hepatitis C. Artinya, darah donor itu diduga kuat ada virus hepatitis. "Darah itu dihancurkan, tak diberikan kepada pasien," ujarnya. (ADH)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.