Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 13/08/2015, 12:47 WIB

KOMPAS.com - Sosialisasi untuk meningkatkan batas usia perkawinan pada remaja mesti digalakkan. Untuk itu, pendidikan kesehatan reproduksi perlu diberikan di sekolah. Upaya lain adalah mendorong pemerintah daerah menyusun peraturan daerah yang membatasi usia perkawinan.

 

"Dengan ada pendidikan seksualitas dini, itu membuat remaja lebih bertanggung jawab atas perbuatannya dan berpikir untuk menunda kegiatan seksual," kata Ketua Pusat Kajian Jender dan Seksualitas Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia Irwan M Hidayana dalam diskusi di Kantor Yayasan Kesehatan Perempuan, Jakarta, Rabu (12/8).

 

Diskusi itu membahas putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan uji materi Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya terkait batas usia perkawinan 16 tahun. MK diminta menetapkan batas baru menjadi 18 tahun.

 

Irwan mengusulkan agar pemerintah memasukkan pendidikan kesehatan reproduksi dalam kurikulum nasional. Selama ini, bidang itu hanya dijadikan ekstrakurikuler di sekolah. Remaja dinilai perlu mempelajari masalah seksualitas sejak dini untuk menekan tingginya angka kehamilan tak diinginkan.

 

"Dari survei yang kami lakukan ke sekolah-sekolah menunjukkan, memberi pengetahuan seksualitas bermanfaat bagi remaja," kata Irwan. Usulan itu diajukan ke MK Februari 2015.

 

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengampanyekan peningkatan usia pernikahan dengan mendekati pemerintah daerah. "Kami akan terus berkampanye untuk meningkatkan usia perkawinan, 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Ini kan soal sosialisasi, banyak bentuk argumentasinya," kata Kepala BKKBN Surya Chandra Surapaty.

 

Menurut Surya, usia pernikahan menentukan masa depan keluarga. Jika perempuan menikah di usia 16 tahun, mereka melanggar aturan wajib belajar 12 tahun. Selain itu, dengan menaikkan batas usia pernikahan, alat reproduksi dan mental anak akan lebih matang.

 

Untuk itu, pemerintah daerah diharapkan membuat kebijakan yang mengatur usia pernikahan. "Banyak pemda bersedia mendukung," ujarnya. Selain itu, DPR diharapkan berinisiatif membuat UU yang mengatur batasan usia nikah seseorang agar dapat mempersiapkan masa depannya.

 

"Jika belum siap mental, nikah muda akan mengakibatkan banyak kejadian kawin-cerai. Apalagi jika tiap menikah, perempuan punya anak," ucapnya.

 

Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pembangunan Keluarga BKKBN Sudibyo Alimoeso menjelaskan, banyak warga melanggar batas usia minimum yang ditetapkan MK. Angka pernikahan anak usia di bawah 16 tahun 5 persen dari total pernikahan.

 

"Ini melanggar UU Perkawinan dan UU Perlindungan Anak. Seharusnya ada sanksi untuk dispensasi pernikahan seperti ini," kata Sudibyo. Angka pernikahan di usia di bawah 16 tahun itu termasuk tinggi karena usia itu adalah waktu bagi anak-anak untuk bermain dan berkembang. Karena itu, perlu ada pembinaan orangtua yang akan menikahkan anaknya. (B06)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau