Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 11/03/2016, 18:07 WIB

Oleh Aditya Ramadhan

KOMPAS.com - Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Menurut perpres ini, iuran kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional naik.

Dalam perpres yang ditetapkan pada 29 Februari 2016 itu dinyatakan bahwa iuran JKN untuk peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Rp 23.000 per orang per bulan. Besaran iuran ini juga berlaku bagi PBI yang didaftarkan oleh pemerintah daerah atau integrasi jaminan kesehatan daerah dengan JKN.

Kemudian iuran Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) juga naik, yaitu iuran PBPU kelas III Rp 30.000, kelas II Rp 51.000, dan kelas I Rp 80.000. Pada peraturan sebelumnya, iuran PBPU kelas III Rp 25.500, kelas II Rp 42.500, dan kelas III Rp 59.500. Adapun iuran untuk peserta PBI di aturan sebelumnya sebesar Rp 19.225 per orang per bulan.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar berpendapat, hadirnya Perpres No 19/2016 tersebut mengejutkan karena besaran iuran peserta JKN mandiri (PBPU) dalam perpres itu ditentukan tanpa melalui pembahasan yang melibatkan para pemangku kepentingan.

Selain itu, besaran iuran yang ditetapkan dalam perpres itu tidak memenuhi unsur gotong-royong, ada ketidakadilan. Kenaikan iuran PBI tidak signifikan seperti kenaikan iuran PBPU. Seharusnya besaran iuran PBI sama dengan iuran kelas III PBPU, yakni Rp 30.000 per orang per bulan, bukan Rp 23.000 per orang per bulan seperti sekarang. "Kebanyakan peserta PBPU juga kurang mampu," ujar Timboel, Jumat (11/3), di Jakarta.

Timboel memahami bahwa kenaikan besaran iuran tersebut muncul karena defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan selama dua tahun implementasi JKN. Akibatnya, setiap tahunnya pemerintah harus mengucurkan dana talangan untuk menutup defisit. Akan tetapi, kenaikan iuran yang terjadi justru tidak adil.

"Peserta PBPU yang banyak memanfaatkan JKN disalahkan terus. Sementara pemerintah tidak memiliki kemauan politik untuk menguatkan JKN dengan menaikkan iuran PBI signifikan," kata Timboel.

Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany menyatakan, iuran yang kurang optimal memenuhi aspek keadilan dan gotong-royong akan menjadikan program JKN seolah hanya untuk masyarakat kecil.

Pejabat pemerintah dan mereka yang mampu tetap tidak memanfaatkan JKN. Iuran yang sudah mereka bayarkan hanya akan dianggap sebagai sumbangan.

"Belum ada keinginan politik dari pejabat pemerintah untuk menjadikan JKN program yang bagus dan kuat," ujar Hasbullah.

Satu hal yang menurut Hasbullah kurang optimal digarap BPJS Kesehatan ialah potensi peserta Pekerja Penerima Upah (PPU). Mereka adalah calon peserta muda yang sehat dan kolektabilitas iurannya tinggi karena membayar dengan dipotong gaji.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau