Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 27/12/2015, 16:51 WIB

KOMPAS.com - Pemerintah bisa menutup defisit pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional dalam dua tahun terakhir dan mencegah defisit tahun depan dengan menggunakan penerimaan dari cukai rokok. Pendapatan negara itu juga bisa untuk program kesehatan bersifat promotif dan preventif.

 

Menurut Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Hasbullah Thabrany, Jumat (25/12), di Jakarta, defisit pembiayaan kesehatan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan terus terjadi.

 

Meski pemerintah telah menaikkan iuran peserta penerima bantuan iuran (PBI) untuk tahun 2016 dari Rp 19.225 per orang per bulan menjadi Rp 23.000 per orang per bulan, defisit masih akan terjadi. Iuran Rp 23.000 itu masih jauh dari perhitungan pakar ekonomi kesehatan yang mengusulkan iuran bagi PBI Rp 36.000 per orang per bulan.

 

Maka dari itu, pemerintah perlu menaikkan harga dan cukai rokok agar penerimaan negara bertambah. Sekitar 40 persen dari penerimaan itu lalu dipakai untuk memperkuat JKN. Menurut perhitungan Hasbullah, dengan kenaikan harga rokok 30 persen saja, potensi penerimaan cukai pada 2017 mencapai Rp 210 triliun. Jumlah itu lebih dari cukup untuk menutup defisit JKN.

 

"Dengan menaikkan cukai dan harga rokok serta memanfaatkannya untuk JKN, ada tiga keuntungan dirasakan: prevalensi perokok remaja turun, keberlanjutan JKN terjamin, dan mutu layanan kesehatan dalam JKN meningkat," kata Hasbullah.

 

Kepala Grup Penelitian dan Pengembangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Togar Siallagan menyatakan, jika penerimaan dari cukai rokok bisa dipakai untuk memperkuat JKN, defisit pembiayaan JKN pada 2014 dan 2015 serta kemungkinan defisit tahun 2016 akan tertutupi.

 

Menurut data BPJS Kesehatan, biaya kesehatan yang dibayar BPJS Kesehatan kepada fasilitas kesehatan mencapai Rp 42 triliun. Sementara iuran yang terhimpun dari peserta Rp 40 triliun.

 

Antisipasi defisit

 

Pada 2016, iuran yang terhimpun bisa mencapai Rp 75 triliun setelah memperhitungkan kenaikan iuran PBI menjadi Rp 23.000, asumsi skenario kenaikan iuran segmen peserta lain 20 persen, dan asumsi kenaikan tarif sekitar 5 persen. Dengan jumlah itu pun diperkirakan masih ada defisit hampir Rp 8 triliun.

 

Guru Besar Ekonomi dan Asuransi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat UI Budi Hidayat mengatakan, sejumlah usulan untuk mengatasi defisit pembiayaan JKN telah disampaikan kepada Presiden dan Menteri Keuangan. Usulan itu antara lain kenaikan iuran PBI menjadi Rp 36.000, kenaikan iuran segmen peserta penerima upah dan peserta bukan penerima upah, serta sumber uang untuk mencukupi biaya kesehatan andaikan kemampuan fiskal terbatas. Usul menjadikan cukai rokok sebagai sumber pendanaan JKN juga sudah disampaikan.

 

Meski defisit sudah di depan mata, belum ada terobosan kebijakan yang signifikan. Selain iuran peserta PBI tidak naik signifikan, penerimaan cukai rokok juga belum dipakai untuk memperkuat JKN. Padahal, pemanfaatan cukai rokok untuk menutupi defisit biaya JKN amat masuk akal. Sekalipun cukai dan harga rokok dinaikkan, hal itu tidak berpengaruh besar pada konsumsi rokok karena sifat produknya inelastis.

 

Menurut Budi, merokok memiliki sifat eksternalitas negatif. Artinya, aktivitas merokok tidak hanya merugikan perokok, tetapi juga orang lain. Dengan demikian, masuk akal jika penerimaan cukai dipakai untuk membiayai kesehatan publik.

 

Bahkan, lanjut Budi, cukai rokok seharusnya tidak hanya menutupi defisit pembiayaan dan mencegah defisit. Penerimaan negara dari cukai rokok juga bisa digunakan untuk program promotif dan preventif kesehatan. "Persoalannya, bagaimana mengawal penerimaan dari cukai rokok itu memang dipakai untuk kesehatan," ucapnya.

 

Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Daeng M Faqih menyatakan setuju jika penerimaan cukai rokok dipakai untuk memperkuat JKN. Kecukupan biaya kesehatan dalam JKN akan memacu kenaikan mutu layanan kesehatan kepada masyarakat. (ADH)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau