Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 14/03/2016, 15:20 WIB
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional belum tentu dibarengi peningkatan kualitas layanan kesehatan bagi peserta.

Supaya kualitas layanan meningkat, diperlukan kenaikan iuran yang tidak hanya mampu mengejar inflasi dan menutupi defisit biaya kesehatan.

Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Laksono Trisnantoro mempertanyakan tujuan kenaikan iuran kepesertaan JKN.

"Untuk menutup defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan atau untuk meningkatkan mutu layanan bagi peserta," katanya saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (13/3).

Meski kenaikan iuran peserta sudah sesuai harapan, kata dia, belum tentu berkorelasi positif pada mutu layanan yang diberikan. Perbaikan mutu layanan tidak hanya terkait kenaikan iuran, tetapi juga bergantung pada seperti apa kenaikan tarif Indonesia-Case Based Group (INA-CBG) bagi rumah sakit dan kapitasi pada fasilitas kesehatan tingkat pertama.

"Terkait peningkatan mutu layanan juga, apakah BPJS Kesehatan sudah menetapkan indikator kualitas layanan yang bagus bagi fasilitas kesehatan. Lalu, siapa yang mengawasi kalau ada penyimpangan kualitas layanan kesehatan," kata Laksono.

Menurut dia, BPJS Kesehatan juga perlu memeratakan kualitas layanan kesehatan di pelosok daerah bekerja sama dengan daerah dan Kementerian Kesehatan.

Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan FKM Universitas Indonesia Prof Hasbullah Thabrany yakin kenaikan iuran saat ini belum mampu mendongkrak tarif layanan di rumah sakit dalam INA-CBG dan kapitasi pada fasilitas kesehatan tingkat pertama. Akibatnya, kualitas layanan tidak akan meningkat berarti. Pasien yang lagi-lagi akan menjadi korban.

Dalam dua tahun terakhir, inflasi 6-7 persen per tahun sehingga dalam dua tahun sekitar 13 persen. Jika kenaikan iuran hanya mengejar atau menyesuaikan inflasi, kualitas layanan tidak akan meningkat.

Laksono menuturkan, manfaat layanan peserta JKN sangat besar. Banyak peserta memanfaatkan layanan manfaat itu, terutama untuk pengobatan penyakit katastropik atau kronis berbiaya besar. Dalam jangka panjang, perlu upaya promotif dan preventif agar dapat mengendalikan pembiayaan kesehatan.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, besaran iuran semua segmen kepesertaan JKN naik.

Iuran peserta mandiri kelas III naik dari Rp 25.500 per orang per bulan jadi Rp 30.000 per orang per bulan. Iuran peserta kelas II naik dari Rp 42.500 per orang per bulan jadi Rp 51.000 per orang per bulan. Lalu, iuran peserta kelas I jadi Rp 80.000 per orang per bulan dari sebelumnya Rp 59.500 per orang per bulan. Itu mulai berlaku 1 April 2016.

Selain itu, iuran peserta PBI juga naik dari Rp 19.225 per orang per bulan jadi Rp 23.000 per orang per bulan. Besaran itu juga berlaku bagi peserta yang iurannya ditanggung pemda.

Adapun kenaikan iuran untuk pekerja formal dihitung dari batas penghasilan Rp 8 juta, bukan lagi dua kali Penghasilan Tidak Kena Pajak dengan status keluarga K1 (menikah anak satu).

Menurut Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan Donald Pardede, perhitungan perubahan besaran iuran peserta JKN tak melulu mempertimbangkan aspek teknis. Penetapan iuran harus mempertimbangkan interaksi banyak hal. (ADH)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Maret 2016, di halaman 14 dengan judul "Iuran Naik Belum Tentu Angkat Mutu Layanan".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau