KOMPAS.com - Sejak populernya media sosial, kita seolah tak lagi sungkan membagi kehidupan pribadi ke publik. Rasanya seluruh dunia harus tahu apa yang kita lakukan dan juga kita miliki itu keren.
Sebagian orang menyebut kebiasaan senang posting kehidupan pribadi, termasuk barang-barang yang kita punyai, sebagai perilaku pamer dan narsistik.
Di lain pihak, banyak juga orang yang menganggap sah-sah saja kita mengekspos kehidupan pribadinya di akun miliknya.
Menurut pengamatan psikolog Vierra Adella, M.Psi, saat ini nilai-nilai yang dianut mayoritas orang memang ketenaran.
Media sosial memberi ruang bagi kita untuk menunjukkan diri dan juga ada "penontonnya".
"Yang sehat itu kalau kita punya kompetensi tertentu untuk dibanggakan. Kalau skill-nya biasa-biasa saja maka dia butuh atribut, yaitu barang-barang duniawi," kata psikolog yang biasa disapa Adella itu.
Barang-barang bagus, lokasi liburan, hingga makanan di restoran yang kerap dipamerkan seseorang di media sosial, menurut Adella dianggap sebagai pelengkap kepribadian.
Ketika seseorang mampu membeli barang-barang mahal, ia berharap gengsinya akan naik di lingkungannya. Apalagi kalau banyak teman-teman di media sosial yang merasa kagum dan iri.
"Kalau gadget-nya enggak baru lalu ia merasa lemah, merasa bukan siapa-siapa. Gadget identik dengan kepribadian karena tak bisa kalau enggak ada," ujar pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Atma Jaya Jakarta ini.
Fenomena tersebut kemudian ditangkap oleh dunia bisnis sehingga lahirlah konsumerisme. Setiap produk yang baru ditawarkan sebagai gaya hidup modern dan langsung ditangkap oleh konsumen tanpa berpikir panjang.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.