Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Imam Taufik
Apoteker

Praktisi dan Akademisi Bidang Farmasi

Mencegah Kasus Pencemaran Sirup Obat Terulang

Kompas.com - 25/01/2023, 09:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pengawasan Bahan Baku Obat Kewenangan Siapa?

Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Pasal 105 ayat 1 menyebutkan, sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan obat harus memenuhi syarat Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya. BPOM, sesuai Pasal 4 Perpres Nomor 80 Tahun 2017 Tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, memiliki kewenangan dalam menerbitkan izin edar produk, pengujian obat dan makanan, melakukan intelijen dan penyidikan serta pemberian sanksi administratif.

Pertanyaannya, pengawasan bahan baku merupakan kewenangan siapa? Bahan baku obat yang termasuk dalam non-larangan dan pembatasan (non-lartas) seperti keempat jenis pelarut di atas, tidak membutuhkan Surat Keterangan Impor (SKI) dari BPOM dalam importasi ke negeri ini.

Keempat jenis pelarut tersebut juga digunakan di industri kimia seperti pada industri radiator kendaraan dan industri cat. Hal ini juga menjadi salah satu kelemahan masuknya bahan baku non-farmasi ke dalam rantai produk farmasi.

Untuk mengantisipasi hal di atas, BPOM perlu dilibatkan dan diberi kewenangan dalam pengawasan keamanan (safety), kemanfaatan (efficacy) dan mutu (quality) obat dari hulu hingga hilir, termasuk dalam importasi bahan baku obat. Demikian juga bahan baku non-lartas perlu diatur regulasinya di negeri ini.

Hal ini dimaksudkan agar ada kejelasan kewenangan pengawasan chemical grade sehingga tidak sampai masuk mencemari rantai pharmaceutical grade. Adanya kewenangan untuk pengawasan di sisi hilir tanpa kewenangan pegawasan di sisi hulu, mengakibatkan produk akhir bukan saja obat tetapi kemungkinan produk lain seperti kosmetika, obat tradisional, dan vaksin dapat tercemar bahan baku yang non-pharmaceutical grade.

Untuk mencegah kasus GGA-PA kembali menyeruak dan memakar korban, DPR perlu bergerak cepat dengan merumuskan UU pengawasan obat dan makanan.

Sebagai benchmarking dengan negara lainnya, Ministry of Food and Drug Safety (MFDS) Korea Selatan memiliki UU tersendiri untuk pengawasan produk obat dan makanan, yaitu UU Functional Health Food Act, Pharmaceutical Affairs Act, Cosmetics Act dan Medical Device Act. Australia dan Selandia Baru melalui lembaga Food Standards Australia New Zealand (FSANZ) memiliki regulasi UU Food Standard Australia New Zealand 1991. Arab Saudi melalui lembaga Saudi Food and Drug Authority (Saudi-FDA) memiliki regulasi UU Food Act dan UU Food and Drug Authority Act.

Indonesia, sebagai salah satu negara besar dan terbesar di kawasan Asia Pasifik dengan penduduk 270 juta, dan diprediksi pada tahun 2045 sebagai negara ekonomi terbesar ke empat di dunia, sangat disayangkan bila BPOM sebagai institusi garda terdepan dalam pengawasan obat dan makanan tidak dibentengi dengan UU pengawasan obat dan makanan. UU ini diharapkan akan memberikan kewenangan yang lebih besar bagi BPOM dalam pengawasan keamanan, kemanfaatan, serta mutu obat dan makanan dari hulu ke hilir.

Bila hal ini tidak segera dilaksanakan, bisa jadi kasus EG dan DEG berikutnya dalam versi yang berbeda akan kembali muncul di Indonesia dengan jumlah korban yang lebih banyak. Kita berharap DPR segera meloloskan dan mengesahkan UU Pengawasan Obat dan Makanan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com