KOMPAS.com - Transplantasi ginjal telah menjadi terapi standar bagi pasien dengan gagal ginjal tahap akhir di banyak negara maju. Prosedur ini dianggap sebagai pengobatan pilihan karena dapat meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi risiko kematian dibandingkan dengan cuci darah (dialisis) rutin.
Di Indonesia, baru satu persen dari pasien gagal ginjal yang mendapatkan transplantasi ginjal dan pusat transplantasi ginjal hanya ada di 17 rumah sakit.
Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan, pada 2024 terdapat 132 tindakan transplantasi ginjal yang dijamin BPJS Kesehatan.
"Jumlah itu naik 43 persen dibandingkan tahun 2023," katanya dalam acara diskusi publik yang diadakan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) di Jakarta (11/3).
Wakil Menteri Kesehatan Prof.Dante Saksono, menjamin tindakan kesehatan untuk menyelamatkan nyawa pasien tidak akan terdampak efisiensi. Malah, pemerintah akan menambah jumlah pusat transplantasi ginjal.
Baca juga: Komplikasi Berat Leptospirosis Sebabkan Gagal Ginjal
"Transplantasi ginjal lebih cost effective dibandingkan cuci darah seumur hidup. Karena itu pemerintah akan menambah menjadi 19 center transplantasi ginjal," katanya di acara yang sama.
Ketua Umum KPCDI, Tony R.Samosir menyebutkan berbagai tantangan yang membuat angka transplantasi ginjal masih rendah, mulai dari keterbatasan skrining, kemampuan fasilitas kesehatan yang tidak merata, keterbatasan tenaga ahli transplantasi, dan kesulitan mendapatkan donor.
"Kendala lain juga dihadapi pasca-transplantasi yaitu mendapatkan obat imunosupresan trakolimus originator, sebagai dampak dari efisiensi anggaran kesehatan. Kekosongan stok obat imunosupresan sering ditemui di rumah sakit," katanya.
Selain itu, menurut Tony sejak pertengahan tahun 2024 obat ini tidak ditanggung BPJS Kesehatan dan yang ditanggung adalah jenis non-originator. Penggantian obat ini dikhawatirkan akan menimbulkan efek samping pada pasien.
Baca juga: Kemajuan dalam Operasi Transplantasi Ginjal di Indonesia
Berdasarkan survei KPCDI pada 23 pasien transplantasi ginjal di Indonesia, 74 persen pasien cenderung mengalami penurunan kadar takrolimus. Selain itu, 39 persen pasien mengalami peningkatan kadar kreatinin dengan 13 persen di antaranya mengalami kenaikan lebih dari batas normal.
Survei itu juga menunjukkan, lebih dari separuh pasien mengalami efek samping setelah mengonsumsi takrolimus non-originator.
Studi klinis menunjukkan penurunan sementara kaar obat tacrolimus dapat memicu reaksi penolakan akut yang jika tidak ditangani dengan cepat dapat berujung pada kegagalan transplantasi. Jika hal itu terjadi maka membutuhkan tindakan dialisis dan justru menambah beban biaya kesehatan secara keseluruhan.
Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Lucia Rizka Andalucia menuturkan, obat imunosupresan seperti takrolimus sudah ada dalam formularium nasional (fornas).
Terkait dengan jenis obat takrolimus yang ditanggung untuk pasien transplantasi ginjal, menurutnya takrolimus originator tidak bisa mencapai harga yang ditentukan, jadi tidak bisa ditanggung BPJS Kesehatan.
"Kalau pasien mau pilih merek yang lebih mahal, silakan co-sharing, bisa dengan pembayaran mandiri atau asuransi swasta,” katanya.
Baca juga: Kenali Gagal Ginjal Kronis: Gejala, Penyebab, dan Cara Mencegahnya
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.