Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Noerolandra Dwi S
Surveior FKTP Kemenkes

Menyelesaikan pascasarjana FKM Unair program studi magister manajemen pelayanan kesehatan. Pernah menjadi ASN di Dinas Kesehatan Kabupaten Tuban bidang pengendalian dan pencegahan penyakit. Sekarang menjadi dosen di Stikes NU di Tuban, dan menjalani peran sebagai surveior FKTP Kemenkes

Malapetaka Penyakit Katastropik

Kompas.com - 10/05/2023, 10:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KATASTROFE dari kata catastrophe, artinya bencana atau malapetaka. Menurut WHO, malapetaka bagi rumah tangga terjadi ketika lebih 40 persen pendapatan rumah tangga dialokasikan untuk biaya kesehatan.

Rumah tangga dengan anggota keluarga yang menderita penyakit katastropik (catastrophic) membutuhkan pelayanan kesehatan jangka panjang, bahkan seumur hidup, dan biaya tinggi yang dapat saja membuat keluarga jatuh miskin.

Penyakit katastropik, untuk menyatakan penyakit yang dalam pelayanan memerlukan keahlian khusus, membutuhkan penanganan dengan alat kesehatan canggih dan memerlukan pelayanan kesehatan seumur hidup. Penyakit katastropik merupakan penyakit kronis dan degeneratif yang banyak diderita orang berusia tengah baya dan lanjut.

Baca juga: Gelontorkan Rp 28,89 Triliun untuk Kanker, Dirut BPJS Kesehatan: Kami Bersyukur Masih Sanggup Biayai Penyakit Katastropik

Penyakit katastropik biasanya kronis karena bersifat laten, memerlukan waktu lama untuk bermanifestasi, dan butuh waktu seumur hidup untuk perawatannya. Disebut degeneratif karena penyakit katastropik sering terjadi akibat kerusakan organ dan metabolisme, seiring bertambahnya umur manusia.

Setidaknya ada empat penyakit katastropik yang menghabiskan biaya besar, yaitu penyakit jantung, gagal ginjal, kanker, dan stroke.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan, pembiayaan kesehatan untuk penyakit katastropik mencapai 25–31 persen pengeluaran negara. Pengeluaran untuk penyakit katastropik akan terus meningkat seiring meningkatnya angka PTM (Penyakit Tidak Menular).

Penyakit kastatropik akibat perilaku dan gaya hidup meliputi pola makan, pola gerak, dan pola asuh yang tidak sehat yang banyak dijalani tidak saja kelompok masyarakat kelas atas tetapi juga kelas menengah ke bawah. Gaya hidup membawa dampak bagi kesehatan.

Biaya pelayanan penyakit katastropik yang dikeluarkan BPJS Kesehatan dalam program JKN sangat besar.

Meningkat

Penderita penyakit katastropik yang bersifat kronis dan degeneratif di Indonesia terus meningkat. Hal ini sejalan dengan makin tingginya angka PTM di tengah masyarakat.

Kemenkes mencatat prevalensi stroke sekarang 10,9 promil. Menurut BPJS Kesehatan, biaya pelayanan stroke terus meningkat, yaitu sebesar 1,43 triliun tahun 2016, sejumlah 2,18 triliun tahun 2017, dan sebanyak 2,76 triliun tahun 2018.

Penyakit kanker juga masuk kategori penyakit katastropik dan terus menjadi beban. Sekarang prevalensi kanker di Indonesia mencapat 1,79 per 1000 penduduk, naik dari tahun 2013 sebanyak 1,4 per 1000 penduduk.

Pada laki-laki prevalensi tertinggi adalah kanker paru sebesar 19,4 per 100.000 penduduk dengan kematian 10,9 per 100.000 penduduk. Di uratan berikutnya kanker hati dengan prevalensi 12,4 per 100.000 penduduk dengan kematian 7,6 per 100.000 penduduk.

Pada perempuan kasus tertinggi kanker payudara 42,1 per 100.00 penduduk dengan kematian 17 per 100.000 penduduk. Di urutan berikutnya kanker rahim dengan kejadian 23,4 per 100.000 penduduk dan rata-rata kematian 13,9 per 100.000 penduduk.

Penyakit ginjal juga meningkat tiap tahun. Kemenkes menunjukkan prosentase penyakit ginjal kronis sebesar 3,8 persen, naik dari tahun sebelumnya. Data keuangan BPJS Kesehatan mencatat 3.657.691 prosedur dialisis dengan total biaya sebesar Rp 3,1 triliun. Hal itu merupakan pembiayaan BPJS Kesehatan tertinggi nomor tiga setelah penyakit jantung dan kanker.

Penyebab gagal ginjal terbanyak adalah hipertensi (36 persen) dan diabetes (29 persen). Prevalensi penderita diabetes dan hipertensi juga terus naik. Berdasarkan pemeriksaan gula darah, diabetes melitus naik dari 6,9 persen menjadi 8,5 persen. Sementara hasil pengukuran tekanan darah hipertensi naik dari 25,8 persen menjadi 34,1 persen.

Diabetes melitus dan hipertensi adalah pencetus penyakit tidak menular yang terus meningkat. Walaupun PTM dipengaruhi faktor genetik, namun hal tersebut tidak dominan. Gaya hidup dan pergaulan masa sekarang membawa akibat negatif pada kesehatan. Contohnya adalah merokok dan minuman alkohol.

Perokok remaja (usia 10-18 tahun) meningkat dari 7,2 persen menjadi 9,1 persen (Riskesdas 2018). Konsumsi minuman alkohol di kelompok yang sama naik dari 3 persen menjadi 3,3 persen.

Kurva PTM berdampak katastropik tampaknya belum menurun dalam lima tahun ke depan. Kebijakan dan strategi nasional untuk PTM secara umum tersedia, namun kita kekurangan kebijakan spesifik yang diarahkan pada peningkatan akses, skrining, dan pencegahan (promotif, preventif) pada morbiditas penyakit katastropik.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti jadi pembicara dalam suatu acara Peringatan Hari Kanker Sedunia di Jakarta, Minggu (19/2/2023).Dokumentasi BPJS Kesehatan Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti jadi pembicara dalam suatu acara Peringatan Hari Kanker Sedunia di Jakarta, Minggu (19/2/2023).
Tantangan

Defisit anggaran BPJS Kesehatan tiap tahun terus naik seiring prevalensi PTM yang berdampak katastropik yang makin meningkat. Defisit BPJS Kesehatan tahun 2014 sebesar Rp 1,9 triliun, tahun 2015 sebesar Rp 9,4 triliun, tahun 2016 jadi Rp 6,4 triliun. Angka defisit itu menjadi Rp 13,8 triliun tahun 2017. Pada tahun 2018 menjadi 19,4 triliun dan menjadi 28,5 triliun tahun 2019.

Besarnya biaya klaim pelayanan disebabkan profil morbiditas peserta yang banyak menderita penyakit PTM stadium lanjut.

Baca juga: Defisit BPJS Kesehatan Dinilai Tak Seharusnya Dibebankan kepada Masyarakat

Hubungan kemiskinan dengan penyakit katastropik sudah lama diketahui banyak orang. Orang jatuh miskin karena penyakit katastropik.

Di dunia, satu persen rumah tangga jatuh miskin karena penyakit katastropik. Sebuah penelitian di Indonesia menunjukkan, sekitar 5,38 persen rumah tangga beresiko menjadi miskin karena belanja pelayanan kesehatan penyakit katastropik.

Untuk menjawab tantangan terkait penyakit katastropik, pemerintah menyatakan bahwa pada tahun 2024 semua rumah sakit di kabupaten harus dapat melayani penyakit katastropik sebagai akses pelayanan kepada pasien dan keluarga. Ketersediaan dokter spesialis dan subspesialis serta alat kesehatan canggih menjadi kebutuhan tak dapat ditunda lagi. Dana sebesar Rp 3,5 triliun telah disedikan untuk peningkatan akses pelayanan penyakit katastropik.

BPJS Kesehatan perlu berperan dalam menjaga meluasnya malapetaka penyakit katastropik di Tanah Air. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan peran FKTP (fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama) yang bermitra dengan BPJS Kesehatan dalam mencegah kasus PTM yang berpotensi katastropik.

Kita berharap negara dan pemerintah memiliki sumber daya yang cukup dalam melindungi masyarakat dari malapetaka penyakit katastropik. Penyakit katastropik bukan penyakit menular tetapi lebih karena perilaku dan gaya hidup yang tidak sehat.

Maka, di samping persoalan pelayanan rujukan dan pembiayaan, upaya promotif dan preventif di pelayanan FKTP sangat menentukan. Strategi skrining dan identifikasi faktor resiko yang efektif perlu dilakukan untuk diagnosa dini penyakit katastropik di tengah masyarakat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com