KOMPAS.com - Mayoritas pengukuran tekanan darah di Indonesia dilakukan di klinik. Meski tidak terlalu akurat, tetapi karena keterbatasan sarana pengukuran tekanan darah di luar klinik belum banyak dilakukan masyarakat.
Seseorang disebut memiliki hipertensi (tekanan darah tinggi) jika tekanannya lebih dari atau sama dengan 140/90 mmHg. Namun, tidak semua orang yang tekanan darahnya terukur dengan nilai tersebut memiliki hasil yang sama saat pengukuran dilakukan di luar klinik atau di rumah.
Ketua Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia (InaSH), dr.Erwinanto Sp.JP(K) mengatakan, diagnosis hipertensi disebut akurat jika baik pengukuran di klinik maupun di luar klinik menunjukkan tekanan darah yang meningkat.
"Individu yang tekanan darahnya meningkat ketika diukur di klinik tetapi tekanannya normal ketika di luar klinik disebut hipertensi jas putih (whitecoat hypertension)," kata dr.Erwinanto.
Baca juga: 12 Tanda-tanda Hipertensi yang Harus Diwaspadai
Seseorang mengalami hipertensi jas putih jumlahnya dapat mencapai 30 persen dari mereka yang terdeteksi hipertensi dan sebenarnya tidak butuh terapi obat.
"Pada saat ini belum ada bukti bahwa terapi obat untuk penyandang whitecoat hypertension dapat mencegah penyakit akibat hipertensi seperti penyakit jantung, stroke, atau ginjal," paparnya.
Pengobatan hipertensi hanya diperlukan oleh mereka yang masuk dalam kategori true hypertension, yaitu yang hasil pengukurannya konsisten antara di klinik dan di luar klinik.
Faktanya pemeriksaan tekanan darah di klinik masih jadi satu-satunya cara untuk penapisan dan diagnosis hipertensi di Indoensia. Karena itu, dibutuhkan strategi nasional untuk meningkatkan akurasi diagnosis hipertensi di Indonesia sehingga tatalaksana penyakit ini bisa dilakukan lebih akurat.
Baca juga: Berapa Tekanan Darah Tinggi pada Anak? Ini Penjelasannya...
Pada saat ini penegakan diagnosis hipertensi di klinik dan luar klinik belum bisa dipilih menjadi strategi nasional. Pendekatan ini baru bisa dilakukan secara terbatas di perkotaan bagi mereka yang memiliki alat pengukur tekanan darah di rumah.
Pendekatan kedua adalah pemeriksaan di klinik dengan protokol baku seperti yang dianjurkan oleh pedoman tatalaksana hipertensi.
"Pemeriksaan tekanan darah di klinik saat ini terkesan belum mengikuti protokol yang baku, karena perlu usaha ekstra yang menjadi tantangan jika dilakukan di klinik yang sibuk atau mempunyai tenaga kesehatan terbatas", paparnya.
Beban ekonomi hipertensi
Beban ekonomi akibat komplikasi hipertensi di Indonesia masih tinggi. Berdasarkan data dari BPJS, klaim terbesar di tahun 2023 masih dipegang oleh penyakit jantung dengan besaran 17,63 triliun. Angka ini mengalami peningkatan dari tahun 2022 yang mencapai 12,1 triliun.
Berdasarkan laporan BPJS di tahun 2023, dari 23 juta peserta JKN yang telah menjalani skrining riwayat kesehatan, sekitar 8 persen diantaranya beresiko menderita hipertensi.
"Hipertensi yang tidak tertangani akan menimbulkan kerusakan di organ lain termasuk otak dan ginjal. Bisa dibayangkan biaya kesehatan yang akan membengkak bila sampai terjadi gangguan di tiga organ sekaligus," kata Ketua Panitia The 18 Annual Scientific Meeting of InaSH 2024, dr.BRM Ario Soeryo Kuncoro Sp.JP (K).
Oleh karena itu diperlukan kolaborasi antara pemerintah, komunitas, dan organisasi kesehatan untuk meningkatkan kesadaran akan gaya hidup sehat untuk mencegah hipertensi.
Baca juga: Hipertensi: Mengapa Penting Diobati?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.