Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Waode Fifin Ervina
Dosen

Dosen Magister Imunologi, Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga

Stres, Pintu Gerbang Masuknya Penyakit

Kompas.com - 14/06/2024, 16:41 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

STRES adalah bagian tak terhindarkan dari kehidupan manusia yang dapat berdampak signifikan pada kesehatan fisik dan mental.

Stres juga dikenal dengan istilah “silent killer” karena secara diam-diam menjadi pintu gerbang atau pemicu terjadinya penyakit.

Zaman modern saat ini, banyak orang mengalami stres setiap harinya karena tuntutan pekerjaan atau hanya untuk bertahan hidup mencari makan.

Gagasan bahwa stres adalah penyebab segala penyakit telah mendapat perhatian besar dalam beberapa tahun terakhir.

Walaupun klaim ini terkesan berlebihan, namun hubungan antara stres dan kesehatan menunjukkan bahwa memang ada hubungan mendalam antara keduanya.

Faktanya, diperkirakan hingga 90 persen seluruh kunjungan dokter berhubungan dengan stres, hal ini menunjukkan stres sebagai pemicu berbagai penyakit.

Selama bertahun-tahun, penelitian semakin menunjukkan bahwa stres tidak hanya berkontribusi pada berkembangnya berbagai penyakit, tetapi juga dapat memperburuk kondisi kesehatan.

Secara umum, stres dapat mengganggu keseimbangan alami tubuh. Saat mengalami stres, tubuh melepaskan hormon stres seperti kortisol dan adrenalin yang berlebih.

Dampak stres terhadap kesehatan tidak dapat disangkal, banyak penelitian yang menghubungkan stres kronis dengan berbagai kondisi.

Misalnya, penelitian menunjukkan bahwa stres dapat berkontribusi terhadap penyakit kardiovaskular seperti hipertensi, penyakit jantung, diabetes, kanker, dan stroke.

Stres kronis juga dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh, sehingga membuat individu lebih rentan terhadap infeksi dan gangguan autoimun.

Ketika sedang stres, tekanan darah meningkat kemudian membebani sistem kardiovaskular dan meningkatkan risiko penyakit jantung.

Demikian pula, stres dapat mengganggu metabolisme glukosa, menyebabkan resistensi insulin dan peningkatan risiko diabetes tipe 2.

Selain itu, stres dapat mengubah ekspresi gen yang terlibat dalam pertumbuhan dan pembelahan sel sehingga mengarah pada perkembangan kanker.

Stres telah dikaitkan dengan gangguan kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan.

Penelitian menunjukkan bahwa stres dapat mengubah struktur dan fungsi bagian otak yang terlibat dalam regulasi emosi sehingga menyebabkan perubahan suasana hati dan perilaku dalam jangka panjang.

Stres kronis telah dikaitkan dengan berbagai masalah kesehatan, termasuk peningkatan kerentanan terhadap infeksi, penyembuhan luka yang lebih lambat, dan risiko gangguan autoimun yang lebih tinggi.

Efek negatif ini menyoroti pentingnya mengelola stres secara efektif untuk menjaga sistem kekebalan tubuh.

Selain itu, stres telah terbukti berdampak besar pada sistem pencernaan. Saat stres, mikrobioma usus terganggu, menyebabkan perubahan pencernaan, penyerapan, dan metabolisme.

Saat stres, kita sering kali beralih ke mekanisme penanggulangan yang tidak sehat, seperti makan berlebihan, merokok, atau penyalahgunaan obat-obatan terlarang yang secara signifikan dapat meningkatkan risiko terkena penyakit.

Misalnya, stres dapat menyebabkan makan berlebihan dan penambahan berat badan yang dapat meningkatkan risiko obesitas, diabetes, dan penyakit jantung.

Demikian pula, stres juga dapat menyebabkan pola tidur yang buruk sehingga memperparah risiko penyakit kronis. Selain itu, stres juga dapat berdampak pada isolasi diri dari lingkungan sosial yang selanjutnya dapat membahayakan kesehatan mental dan fisik kita.

Stres juga dapat memengaruhi fungsi kognitif otak, sehingga menyebabkan penurunan produktivitas, kehilangan memori, dan penurunan konsentrasi.

Hal ini dapat mempunyai konsekuensi yang luas, tidak hanya memengaruhi kehidupan pribadi, tetapi juga hubungan profesional dan sosial.

Cara mengurangi stres

Begitu banyak dampak negatif dari stres, namun ada beberapa cara yang dilakukan untuk mengurangi stres, yaitu mengubah perilaku dan gaya hidup, salah satunya dengan berolahraga.

Olahraga dapat meningkatkan hormon endorfin dan menurunkan hormon kortisol. Olahraga yang dilakukan misalnya yoga, tai chi, dan jogging dan masih banyak lagi.

Selain itu, mandi air hangat juga dapat menurunkan stres karena dapat meregangkan otot-otot tubuh yang kaku akibat stres.

Tidur yang cukup dan menjaga pola makan seimbang juga dapat membantu mengurangi risiko terkait stres.

Selain itu, membangun hubungan sosial yang kuat, mencari dukungan sosial, dan mempraktikkan rasa syukur juga dapat membantu kita mengatasi stres dengan lebih efektif.

Penelitian menunjukkan bahwa praktik mindfulness, teknik relaksasi, dan dukungan sosial dapat membantu mengurangi dampak stres pada tubuh.

Dengan menerapkan strategi pengurangan stres dalam kehidupan sehari-hari, seseorang berpotensi menurunkan risiko terkena penyakit dan meningkatkan kualitas hidup.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau