Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Sunardi Siswodiharjo
Food Engineer dan Praktisi Kebugaran

Food engineer; R&D manager–multinational food corporation (2009 – 2019); Pemerhati masalah nutrisi dan kesehatan.

Mengkritisi Mitos Nutrisi

Kompas.com - 02/07/2024, 15:07 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

JANGAN Takut Makan Enak”. Demikian salah satu judul buku populer yang ditulis Prof. Made Astawan, seorang Guru Besar Bidang Pangan, Gizi dan Kesehatan, IPB University.

Bahkan buku tersebut terbit dalam dua seri dengan dua subjudul berbeda. “Petik Manfaat Semua Makan dan Minuman” untuk buku pertama, dan “Sehat dengan Makanan Tradisional” di seri kedua.

Buku tersebut juga menepis pemahaman adanya makanan yang baik dan buruk. Sebab pada dasarnya yang bermasalah seringkali adalah perilaku yang membentuk pola makan dan bukan pada makanannya itu sendiri.

Misalnya, makan secara berlebihan terhadap satu atau beberapa jenis makanan dan pada saat sama kekurangan ragam makanan lain.

Kita juga sering mendengar seseorang melabeli makanan sebagai clean foods versus not clean foods, healthy foods versus not healthy foods.

Pelabelan seperti ini justru akan membuat masyarakat semakin bingung dan takut untuk mengonsumsi atau tidak mengonsumsi makanan. Karena yang paling penting untuk diperhatikan sebenarnya adalah cara maupun jumlah konsumsinya.

Kemenkes RI telah memberikan panduan “Isi Piringku” agar masyarakat mengonsumsi makanan yang beragam dan sesuai dengan Pedoman Gizi Seimbang (PGS), yaitu setengah piring berisi makanan pokok (sumber karbohidrat) dan lauk pauk (sumber protein), kemudian setengah piring lainnya diisi sayuran dan buah-buahan (sumber vitamin, mineral dan serat).

Rasionalitas konsumen cerdas

Masyarakat luas umumnya sudah biasa hidup di tengah banyak mitos (myth dalam bahasa Inggris, atau 5 dalam bahasa Yunani kuno).

Mitos adalah semacam cerita, narasi, atau kepercayaan yang tidak didasarkan pada fakta atau bukti ilmiah yang jelas, namun terlanjur dipercaya banyak orang.

Dalam konteks modern pun terdapat banyak mitos, termasuk mitos nutrisi atau mitos kesehatan.

Contohnya keyakinan tentang makanan tertentu yang dianggap berbahaya atau malah sebaliknya, dianggap sangat bermanfaat.

Beberapa mitos populer yang banyak dipercaya orang, misalnya, susu kedelai dapat meningkatkan risiko kanker payudara.

Lalu, makanan bebas lemak lebih sehat daripada makanan tinggi lemak. Kemudian vegan dan vegetarian kekurangan protein. Turun berat badan dengan cepat tanpa diet dan olahraga.

Rupanya gagasan yang salah tentang nutrisi dan kesehatan masih dan terus bertahan lama dalam budaya yang hidup di masyarakat, seolah seperti lagu yang mengerikan (terrible song) yang terus terngiang-ngiang dalam pikiran.

Oleh karena itu, kita harus lebih banyak merujuk pada evidence based science ketimbang experience based knowledge.

Maksudnya, referensi yang digunakan dalam memutuskan cara, jumlah, serta jenis makanan apa yang dikonsumsi sebaiknya didasarkan pada alasan-alasan rasional, terutama sains (ilmu pengetahuan) yang berbasis bukti ilmiah.

Hindari semua referensi berbasis testimoni atau pengalaman seseorang yang tidak mengikuti kaidah-kaidah ilmiah.

Meskipun seseorang tersebut adalah kaum selebritas, para pemengaruh (influencer) media sosial dengan jutaan pengikut, follower, subscriber, serta tokoh masyarakat tertentu.

Selama tidak ada bukti ilmiah, maka pernyataan atau pengalaman mereka hanyalah sebatas knowledge yang tidak harus diikuti.

Menjadi rasional dengan basis sains yang tepat membuat kita akan tetap menjadi konsumen cerdas, terbebas dari belenggu beragam mitos yang terus berseliweran di sekitar kita.

Menghapus mitos

Informasi tidak lengkap juga sering menjadi “pembenaran” terhadap mitos-mitos yang masih ada. Contoh populernya adalah “orang dengan Diabetes Melitus (DM) tipe 2 sebaiknya tidak mengonsumsi buah”.

Sophie Egan, seorang penulis buku “How to Be a Conscious Eater: Making Food Choices That Are Good for You, Others, and the Planet” menyebutkan, mitos ini muncul dari kesalahan penggabungan antara jus buah, yang dapat meningkatkan kadar gula darah karena kandungan gulanya yang tinggi dan seratnya rendah, dengan buah utuh.

Penelitian menunjukkan bahwa anggapan tersebut tidak benar. Beberapa studi menemukan orang yang mengonsumsi satu porsi buah utuh per hari, terutama blueberry, anggur, dan apel, memiliki risiko lebih rendah untuk perkembangan DM tipe 2.

Hasil riset lain juga menunjukkan bahwa bagi penderita DM tipe 2, mengonsumsi buah utuh dapat membantu mengontrol kadar gula darah.

Dr. Linda Shiue, seorang internis dan direktur kedokteran kuliner serta gaya hidup di Kaiser Permanente San Francisco, mengatakan “sudah saatnya menghapus mitos ini”.

Ia menambahkan bahwa semua orang, termasuk penderita DM tipe 2, bisa mendapatkan manfaat dari nutrisi yang meningkatkan kesehatan dalam buah seperti serat, vitamin, mineral, dan antioksidan.

Tentu konsumsi tetap dalam jumlah yang tidak berlebihan, karena sensitivitas tiap individu berbeda-beda.

Mitos terkenal berikutnya, yaitu “Protein dalam makanan nabati tidak lengkap”. Menurut Christopher Gardner, seorang ilmuwan nutrisi dan profesor kedokteran di Universitas Stanford, pertanyaan pertama kepada seorang vegetarian umumnya adalah "dari mana Anda mendapatkan protein?'

Dr. Gardner menjelaskan, "mitosnya adalah bahwa tanaman sama sekali tidak memiliki beberapa asam amino," yang juga dikenal sebagai bahan penyusun protein.

Namun pada kenyataannya, semua makanan nabati mengandung semua 20 asam amino, termasuk semua sembilan asam amino esensial.

Perbedaannya adalah proporsi asam amino ini tidak seideal proporsi asam amino dalam makanan hewani.

Jadi, untuk mendapatkan campuran memadai, yang diperlukan adalah mengonsumsi berbagai makanan nabati sepanjang hari, seperti kacang-kacangan, biji-bijian, dan mengonsumsi cukup protein total.

Selanjutnya, masih ada mitos yang menyebutkan “saran nutrisi mendasar terus berubah dan banyak”.

Dr. Marion Nestle, seorang profesor emerita nutrisi, studi makanan, dan kesehatan masyarakat di Universitas New York, mengatakan pernyataan tersebut merupakan mitos belaka.

Pada 1950-an, anjuran diet pertama untuk mencegah obesitas, diabetes tipe 2, penyakit jantung, dan sejenisnya adalah berupa rekomendasi agar kalori seimbang dan mengurangi makanan tinggi lemak jenuh, garam, dan gula.

Pedoman diet di Amerika Serikat pun masih menyarankan hal yang sama hingga hari ini.

Memang, sains terus berkembang, namun panduan diet pada dasarnya tetap konsisten.

Michael Pollan, penulis buku “Food. Inc” dan “Food. Inc. 2”, jurnalis, aktivis, dan profesor jurnalisme di Universitas California, Berkeley, meringkas pedoman diet dalam 7 (tujuh) kata sederhana "Makanlah makanan. Jangan terlalu banyak. Kebanyakan tanaman." (“Eat food. Not too much. Mostly plants”).

Nasihat tersebut sudah berhasil 70 tahun lalu, dan masih relevan hingga saat ini.

Jadi, sesungguhnya masih sangat banyak ruang untuk menikmati makanan yang kita sukai. Lepaskan belenggu mitos nutrisi dan mulailah membuat pilihan-pilihan cerdas dan rasional.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com