DIET intermiten semakin populer di berbagai belahan dunia sebagai metode untuk menurunkan berat badan dan meningkatkan kesehatan.
Menurut laporan yang diterbitkan di jurnal "Obesity Research & Clinical Practice" (2022), sekitar 10 persen orang dewasa di negara maju pernah mencoba diet ini.
Namun, tidak semua orang mencapai hasil yang diinginkan. Sebagian besar gagal mempertahankan pola diet ini dalam jangka panjang.
Fakta ini menimbulkan pertanyaan: mengapa diet intermiten sering kali gagal?
Diet intermiten adalah pola makan yang melibatkan siklus antara periode makan dan puasa. Metode ini memiliki beberapa variasi, seperti:
- Puasa 16/8: Puasa selama 16 jam dan makan dalam jendela 8 jam.
- Puasa 5:2: Mengonsumsi hanya 500-600 kalori selama dua hari dalam seminggu dan makan normal di hari lainnya.
- Eat-Stop-Eat: Puasa selama 24 jam sekali atau dua kali seminggu.
Manfaat utama diet ini melibatkan pengaturan metabolisme, seperti meningkatkan sensitivitas insulin, memicu ketosis (pembakaran lemak sebagai energi), dan mendorong autophagy, proses peremajaan sel yang membantu tubuh memperbaiki kerusakan.
Diet intermiten dan obesitas
Obesitas adalah salah satu alasan utama orang mencoba diet intermiten. Sebuah meta-analisis dalam Annual Review of Nutrition (2021) menunjukkan bahwa diet ini dapat membantu menurunkan berat badan rata-rata 4-8 kg dalam 12-24 minggu.
Baca juga: Mengenal Enzim Ghrelin dan Pengaruhnya terhadap Obesitas
Selain itu, studi lain dari JAMA Network Open (2018) menunjukkan bahwa diet ini efektif menurunkan kadar lemak viseral, jenis lemak yang berhubungan erat dengan risiko penyakit kardiovaskular.
Namun, meskipun banyak bukti ilmiah mendukung efektivitasnya, banyak orang tetap gagal mencapai hasil yang diinginkan karena berbagai faktor.
Ada sejumlah faktor yang memengaruhi kegagalan diet intermiten:
- Pola makan yang tidak tepat. Mengandalkan makanan tinggi kalori, gula, atau lemak tidak sehat selama jendela makan dapat menghambat hasil. Diet ini bukanlah "izin" untuk makan sembarangan.
- Kurangnya aktivitas fisik. Diet saja sering kali tidak cukup. Aktivitas fisik diperlukan untuk mempercepat pembakaran lemak dan meningkatkan metabolisme.
- Stres. Hormon kortisol yang meningkat akibat stres dapat menyebabkan tubuh menyimpan lebih banyak lemak.
- Gangguan tidur. Kurang tidur dapat mengganggu regulasi hormon yang mengontrol nafsu makan, seperti leptin dan ghrelin.
- Penggunaan obat-obatan. Beberapa obat, seperti kortikosteroid atau antidepresan, dapat menyebabkan kenaikan berat badan atau menghambat pembakaran lemak.
Berikut sejumlah cara menekan potensi kegagalan diet intermiten:
- Pola makan sehat. Konsumsi makanan kaya serat, protein, dan lemak sehat untuk menjaga kenyang lebih lama dan mendukung metabolisme.
- Olahraga teratur. Olahraga meningkatkan efektivitas diet intermiten. Berolahraga saat puasa, terutama pada pagi hari, dapat memaksimalkan proses pembakaran lemak (fat burning) dan ketosis. Menurut Journal of Physiology (2019), olahraga saat perut kosong juga dapat meningkatkan autophagy sel lemak, mendukung regenerasi tubuh.
- Manajemen stres. Teknik seperti meditasi, yoga, atau terapi kognitif dapat membantu mengurangi stres dan mencegah kenaikan hormon kortisol.
- Tidur yang cukup. Tidur 7-8 jam per malam membantu tubuh mengatur hormon dan memaksimalkan pembakaran lemak.
Jenis olahraga apa saja yang efektif untuk diet intermiten?
- Olahraga kardio. Berlari, bersepeda, atau berenang, efektif dilakukan saat puasa untuk memaksimalkan pembakaran lemak. Waktu terbaik untuk kardio adalah di pagi hari sebelum sarapan, ketika kadar insulin rendah dan tubuh cenderung menggunakan lemak sebagai sumber energi.
- Latihan kekuatan. Angkat beban atau resistance training membantu mempertahankan massa otot selama penurunan berat badan. Latihan ini ideal dilakukan pada akhir jendela puasa atau awal jendela makan untuk memastikan ketersediaan nutrisi yang cukup bagi pemulihan otot.
- HIIT (High-Intensity Interval Training). Kombinasi olahraga intensitas tinggi dan rendah yang meningkatkan metabolisme, bahkan setelah sesi selesai. HIIT sangat efektif bila dilakukan saat tubuh telah memasuki fase ketosis, biasanya setelah 12-16 jam puasa.
- Yoga atau Pilates. Olahraga dengan intensitas rendah ini dapat dilakukan kapan saja, tetapi sangat bermanfaat di pagi hari atau menjelang akhir jendela puasa untuk membantu mengurangi stres dan meningkatkan fleksibilitas tubuh.
Waktu olahraga memainkan peran penting dalam mendukung diet intermiten. Berikut adalah panduan waktu terbaik berdasarkan proses tubuh:
- Fat Burning. Olahraga pagi dalam kondisi perut kosong, biasanya setelah 8-12 jam puasa, adalah waktu optimal untuk memaksimalkan pembakaran lemak.
- Ketosis. Ketosis biasanya dimulai setelah 12-16 jam puasa. Olahraga pada periode ini akan memanfaatkan lemak sebagai sumber energi utama.
- Autophagy. Proses ini aktif setelah 16-24 jam puasa. Latihan ringan seperti yoga atau jalan cepat selama fase ini dapat mempercepat peremajaan sel tanpa membebani tubuh.
Diet intermiten dapat menjadi alat efektif untuk menurunkan berat badan dan meningkatkan kesehatan. Namun, keberhasilan bergantung pada banyak faktor, termasuk pola makan, olahraga, manajemen stres, dan tidur yang cukup.
Memilih waktu olahraga yang tepat, terutama saat puasa, dapat mempercepat hasil dengan memanfaatkan proses alami tubuh seperti fat burning, ketosis, dan autophagy.
Dengan pendekatan yang terencana, peluang keberhasilan diet ini dapat meningkat secara signifikan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.