KOMPAS.com - Saat dilanda kesedihan sampai berurai air mata, manakah yang akan kamu lakukan; mencari tisu untuk menghapus air mata atau menyalakan video di ponsel lalu menekan tombol rekam?
Jika kamu termasuk Gen Z, kemungkinan besar kamu akan memilih merekam diri.
Mereka yang memposting video dirinya menangis biasanya memilih Instagram Stories atau TikTok, dua platform yang menyediakan pengalaman intim dan tatap muka dengan teman di media sosial.
Aktris Selena Gomez belum lama ini juga mengunggah rekaman dirinya sedang menangis, menanggapi kebijakan deportasi yang dilakukan Presiden Donald Trump terhadap imigran ilegal di Amerika.
Sayangnya video yang diposting Gomez yang merupakan keturunan Meksiko itu mendapat banyak kritik. Akhirnya ia pun menghapusnya, lalu menulis "Tampaknya banyak yang tidak suka ada yang menunjukkan empati kepada orang lain,".
Dalam sebuah artikel yang diterbitkan The Atlantic berjudul “Waspadalah terhadap Influencer yang Cengeng,” penulis dan psikolog Maytal Eyal memahami apa yang mengganggu sebagian orang tentang tampilan emosi di media sosial.
Baca juga: Selena Gomez Menangis Tersedu-sedu atas Kebijakan Imigrasi Donald Trump yang Kontroversial
“Rekaman sedang menangis itu dimaksutkan untuk menginspirasi empati, untuk meyakinkan pemirsa bahwa influencer juga sama seperti mereka.
Namun pada kenyataannya, hal-hal tersebut merupakan latihan yang saya sebut sebagai ‘McVulnerability’, sebuah versi sintetik dari kerentanan, yang mirip dengan makanan cepat saji: diproduksi secara massal, mudah diakses, terkadang lezat, namun kurang nutrisinya. Kerentanan sejati dapat menumbuhkan kedekatan emosional. McVulnerability hanya memberikan ilusi saja,” katanya.
Sebenarnya rekaman orang menangis di media sosial bukanlah hal baru, sejak era Youtube kita sudah melihatnya. Namun, banyak orang masih menganggap tindakan itu sengaja dibuat untuk menarik perhatian, aneh, atau berlebihan, hanya demi meraih banyak "likes".
Baca juga: Benarkah Stres Bikin Wajah Tampak Lebih Bulat?
Walau begitu sebenarnya ada sisi lain yang unik dari fenomena ini. Bagaimana seseorang mau menampilkan sisi emosi dari dirinya.
Di saat kebanyakan orang ingin terlihat keren di media sosial, sebenarnya cukup menyegarkan melihat ada orang, bahkan selebritis, yang bersedia terlihat jelek saat menangis tersedu-sedu.
Terbuka menampilkan emosi
Terapis trauma dan kecemasan, Stephanie Feldman, mengatakan generasi yang lebih muda, terutama gen Z, memang cenderung lebih terbuka menampilkan emosinya dan juga perjuangannya dalam kesehatan mental.
“Gen Z dan Milenial tumbuh di dunia digital di mana ekspresi diri, baik itu kegembiraan, kemarahan, atau kesedihan, sering kali dibagikan secara online, dan membicarakan tantangan kesehatan mental secara online tidak lagi mendapat stigma seperti dulu," katanya.
Meski demikian, jika kita mau menunjukkan kerentanan emosional di dunia maya maka kita juga harus siap mendapat komentar menghakimi dari orang lain.