Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 13/08/2012, 13:57 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Dalam situasi terjepit serta berkeinginan kuat ingin sembuh dari penyakit, sebagian kecil masyarakat nekat dan mengabaikan akal sehat. Ditambah dengan citra pengobatan medis yang relatif mahal dan lama, mereka akhirnya menerima tawaran menjalani pengobatan alternatif.

Menurut Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), Marius Widjajarta, pengobatan alternatif sebenarnya tidak salah. Namun, masyarakat sekarang cenderung tidak berdaya dan minim akan pengetahuan sehingga kondisi ini membuat mereka menjadi rentan dimanfaatkan pihak tertentu. Minimnya pengetahuan dan informasi ini pada akhirnya menjadi bumerang bagi masyarakat.

Marius yang dihubungi akhir pekan lalu berpendapat, iming-iming kesembuhan yang ditawarkan dalam iklan testimoni pengobatan alternatif cukup meresahkan. Bahkan, layanan seperti ini bisa membahayakan karena masyarakat tidak mendapatkan informasi benar dan jelas, serta tidak ada jaminan keamanan dan keselamatan.

Baca juga: Dedi Mulyadi Cari Kades yang Marah soal Pembongkaran Bangunan Liar di Bekasi

Marius sendiri tidak anti terhadap pengobatan alternatif maupun tradisional. Sayangnya, situasi saat ini dikondisikan dalam sajian informasi yang cenderung berlebihan dan menyesatkan. "Masyarakat itu kalau sudah kepepet maka cara apa pun akan ditempuh. Saya tidak anti alternatif atau obat tradisional, saya percaya. Tapi, kalau dikondisikan seperti saat ini justru menyesatkan. Di luar negeri itu juga banyak alternatif, tapi iklannya tidak begini," katanya.

Apabila pengobatan relatif ini tidak berhasil alias penderitanya tidak kunjung sembuh, masyarakat memberikan permakluman. Oleh karena permakluman, masyarakat tidak berani melakukan pengaduan.

"Masyarakat Indonesia itu sifatnya pasrah meskipun tidak rela. Mereka pasrah karena ketidaktahuan akan informasi. Harusnya Kementerian Kesehatan memberi peringatan. Apakah harus menunggu ada korban melapor baru Kemenkes bertindak?" ujarnya.

Baca juga: Demi Mudik Lebih Longgar, Menag Perpanjang Libur Lebaran Jadi 20 Hari, Ini Rinciannya

Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Dr Prijo Sidipratomo SpRad menilai, informasi menyesatkan layanan pengobatan TCM yang disiarkan media, terutama televisi, dikhawatirkan memengaruhi masyarakat yang minim akses kesehatan dan informasi. Kelompok masyarakat ini akan mudah terseret ke sana dan dirugikan.

"Penduduk Indonesia yang berpendidikan tinggi itu sekitar 18 persen. Jika informasi yang tidak benar disajikan kepada kelompok masyarakat berpendidikan maka mereka bisa memilah mana yang benar dan tidak. Tapi, bagaimana kelompok masyarakat di luar itu? Mereka bisa terseret, padahal informasinya menyesatkan," ujar Prijo.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Verifikasi akun KG Media ID
    Verifikasi Akun
    Proteksi akunmu dari aktivitas yang tidak kamu lakukan.
    199920002001200220032004200520062007200820092010
    Data akan digunakan untuk tujuan verifikasi sesuai Kebijakan Data Pribadi KG Media.
    Verifikasi Akun Berhasil
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
    atau