Salah seorang yang berperan memopulerkan lidah buaya sebagai produk makanan khas Pontianak itu adalah Sunani (39). Dimulai dari kesenangan membuat kue, lulusan sekolah menengah atas itu mencoba membuat jeli dan dodol berbahan dasar lidah buaya (aloe vera
”Saya mencobanya dari jumlah yang sangat sedikit, hanya satu kilogram lidah buaya yang saya olah menjadi jeli dan dodol,” ujar Sunani. Pada awal usahanya, Sunani memutuskan untuk menitipkan jeli dan dodol lidah buaya di pusat oleh-oleh Kota Pontianak.
Sayangnya, respons konsumen belum bagus karena masih asing dengan produk olahan itu. Sunani menilai hal itu wajar mengingat lidah buaya memang bukan bahan baku siap olah seperti bahan baku lain.
”Mengolah lidah buaya menjadi makanan memang harus sabar, prosesnya agak lama. Konsumen yang membeli produk makanan olahan lidah buaya pada masa awal itu umumnya mereka yang tahu khasiatnya,” ujar Sunani.
Awalnya, Sunani hanya memanfaatkan daging lidah buaya untuk membuat jeli dan dodol. Prosesnya agak rumit karena harus dicuci lima hingga enam kali supaya lendirnya hilang. Selanjutnya, lidah buaya harus direbus.
Tantangan pada tahun pertama membuat makanan olahan dari lidah buaya bagi Sunani terasa berat. Pasalnya, dia harus memperkenalkan produk makanan dari bahan baku yang baru.
”Namun, upaya saya dengan ikut pameran, menitipkan produk di beberapa tempat, dan memperkenalkannya dari mulut ke mulut tidak sia-sia. Dalam tahun pertama, saya sudah bisa mengolah sekitar 200 kilogram lidah buaya setiap bulan,” kata Sunani.
Sunani dibantu lima pekerja pada setahun pertama dan bisa membukukan omzet Rp 20 juta per bulan. Supaya makin dikenal konsumen, Sunani yang dibantu suaminya, Jifung (41), menggunakan merk Isunvera.