JAKARTA, KOMPAS.com — Spontan, ceria, tidak punya beban, dan jauh dari stres! Bila kecewa atau sedih, ia akan menangis sebentar dan segera pulih kegembiraannya. Itulah dunia anak-anak menurut pandangan orang dewasa. Pandangan itu melekat di benak orangtua dan menganggap stres hanya milik orang dewasa. Simak tanda-tanda anak Anda stres.
Lestari, ibu dari dua anak berusia 16 tahun dan 8 tahun, sangat kagum pada dunia anak bungsunya, Tommy. Ia begitu spontan, ceria, penuh eksperimen, dan banyak canda. Lestari sering menikmati kegembiraan anaknya itu.
Kadang timbul keinginan Lestari untuk menggoda Tommy berbarengan dengan rasa ingin tahunya mengenai perasaan si anak. “Enak ya… jadi Tommy? Bisa asyik bermain dan ketawa-ketawa terus?”
Itu kalimat yang tak jarang dilontarkan Lestari kepada Tommy. Biasanya Tommy akan menjawab dengan lucu, “Iya dong. Ibu mau jadi Tommy? Boleh! Nanti Ibu …,” dan seterusnya.
Lestari berpikir, Tommy selalu ceria karena segala kebutuhannya terpuaskan: kasih sayang, rasa aman, makanan kesukaan, mainan, dan sebagainya. Kepuasan mengembang di hati Lestari. Ia membayangkan anaknya akan terus tumbuh sehat dan bebas tekanan karena ia dan suami mengerti dan selalu memenuhi kebutuhan anaknya.
Tekanan psikologis mungkin dialami beberapa anak tertentu, tapi bukan pada anaknya. Dia cenderung berpikir, anak-anak sekarang memang lebih beruntung: bukan zamannya lagi orangtua otoriter seperti dulu sehingga anak bebas stres.
Perubahan keadaan
Meski demikian, ternyata keadaan tidak berjalan seperti dibayangkan Lestari. Suatu saat, hampir satu bulan Tommy kehilangan nafsu makan. Usaha pun sudah dilakukan. Tommy selalu dibujuk dengan makanan-makanan kesukaan serta diberi vitamin dan penambah nafsu makan. Namun, tetap tidak ada hasil.
Tommy menjadi sangat kurus dan tampak pucat bila pulang sekolah. Prestasi sekolahnya sangat menyedihkan: turun hingga di bawah rata-rata kelas. Lestari berpikir, mungkin pokok persoalannya adalah penambahan jam belajar di sekolah (di kelas 3 SD ini lebih dari 6 jam, setelah sebelumnya hanya belajar tidak lebih dari 3 jam), ditambah perjalanan ke dan dari sekolah cukup jauh, mengakibatkan kekacauan jam makan.
Setelah lebih jauh menyimak perubahan pada Tommy, Lestari menemukan bahwa si anak yang sebenarnya cenderung manja kepadanya menjadi lebih mudah marah kepada ibunya. Keadaan semakin jelas ketika beberapa kali menjelang tidur Tommy gelisah dan menanyakan ayahnya yang sudah hampir dua minggu di luar kota. Lestari sendiri sudah lebih dari sebulan di luar kota selama dua hari dalam seminggu untuk urusan studi, di samping tetap sibuk dengan pekerjaannya.
Rupanya Tommy banyak kehilangan kesempatan merasakan nyamannya keluarga berkumpul secara utuh yang sebelumnya selalu ia rasakan. Terlebih semua itu terjadi setelah berturut-turut ia juga kehilangan dua burung kesayangannya: si burung hantu mati dan si betet terbang setelah diganggu temannya.