KOMPAS.com - Masyarakat, khususnya remaja, membutuhkan kuesioner kesehatan reproduksi. Kuesioner di kalangan anak sekolah menengah diperlukan untuk mengetahui kondisi terkini pubertas remaja.
Kuesioner ini menentukan bentuk intervensi yang akan diberikan, baik pada tindak promotif maupun preventif. Survei serupa sebetulnya sudah dilakukan berkala di beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Inggris.
"Kita perlu data primer seperti ini. Selama ini kita hanya punya data sporadis, padahal untuk suatu tindakan kita perlu data inti dan detail. Dengan data yang cukup tindakan bisa tepat sasaran," kata Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Inang Suwarso saat dihubungi, Selasa (10/9/2013).
Kondisi pubertas yang berjalan terlambat, normal atau terlalu cepat, menentukan tindak promotif dan preventif yang diperlukan terutama di tingkat layanan kesehatan dasar. Untuk remaja yang ketahuan memiliki kelainan, kata Inang, dapat dirujuk untuk menjalani pemeriksaan lanjutan.
Tentunya data ini bersifat rahasia, dan hanya diketahui petugas pemeriksa, orangtua, dan anak. "Data ini seperti laporan hasil belajar siswa. Jika tidak disebar yang bersangkutan, maka data tersimpan aman," katanya.
Kuesioner juga menjawab rasa penasaran dan keingintahuan remaja pada kesehatan reproduksi. Remaja bisa mengetahui apakah reproduksinya berjalan normal atau tidak. Inang mengatakan, guru UKS dan tenaga layanan kesehatan akan menjadi tempat remaja bertanya dan mendapatkan informasi yang benar.
Terkait anggapan kuesioner yang terlalu vulgar, Inang membantah hal tersebut. Skala Tanner yang digunakan, lanjut Inang, sebetulnya sudah menjadi ukuran standar kesehatan. "Inilah yang menjadi sumber salah kaprah di masyarakat, standar dianggap porno. Padahal ukuran ini sudah dipakai di negara lain, misalnya China," katanya.
Skala Tanner, lanjut Inang, merupakan cara paling efektif mengetahui kondisi alat reproduksi. Hal ini dikarenakan maksud bisa disampaikan dengan baik dan benar. Ukuran fisik alat reproduksi pasti dipengaruhi keseimbangan hormon, dan kesehatan remaja secara keseluruhan. Dengan mengetahui ukuran fisik maka kondisi kesehatan remaja bisa diketahui.
Sedangkan menyampaikan secara langsung, menurut Inang, kurang efektif. Hal ini dikarenakan, cara tersebut cocok untuk memberi tahu tentang kesehatan reproduksi. Bukannya mengetahui kesehatan reproduksi.
Untuk mengatasi kesalahpahaman yang terjadi Inang menyarankan, dilakukannya sosialisasi ulang. "Pada beberapa daerah mungkin perlu diulang. Saat pengulangan pastikan guru dan orangtua mengetahui mafaat serta tujuan kuesioner," ujarnya.
Libatkan orangtua
Konsultan dan pakar komunikasi anak Hana Yasmira menilai orangtua harus dilibatkan dalam pengisian kuesioner kesehatan reproduksi. Hal ini dikarenakan orangtua menjadi pihak yang paling khawatir pada apapun yang terjadi pada anak.
"Jadi pastikan orangtua tahu apa manfaat dan tujuan kuesioner, selanjutnya mereka yang akan menjawab bila anak bertanya," katanya
Hana menyesalkan pengisian kuesioner yang menurutnya kurang sosialisasi. Padahal bila sosialisasinya baik, orangtua akan memahami dan tidak terjadi keresahan di masyarakat.
"Bila berjalan baik juga bisa menjadi sarana pendidikan seks. Apalagi dalam pendidikan seks, orangtua memegang peran sentral," kata Hana.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.