Menanggapi kelebihan ini, psikiater dr. Nurmiati Amir Sp.KJ (K) mengatakan, penderita gangguan bipolar memang punya kecenderungan pintar. “Penderita bipolar memiliki episode yang disebut hipomanik. Saat inilah biasanya dia menjadi lebih pintar,” katanya.
Episode hipomanik, kata Nurmiati, merupakan rangkaian episode pada gangguan bipolar seperti halnya manik dan depresi. Rangkaian episode ini merupakan gangguan mood yang menjadi ciri khas penderita bipolar. Rangkaian episode terus berganti setiap harinya dengan durasi yang berbeda pada setiap penderita.
Episode hipomanik ditandai dengan kreativitas yang luar biasa, bahkan terlihat berlebihan dibanding orang lain pada umumya. Namun ide kreatif ini masih dapat diwujudkan dan realistis kendati di luar kebiasaan. Hal ini bertolak belakang dengan episode manik yang ditandai munculnya ide yang sangat tidak realistias dan berlebihan. Episode manik bahkan menyebabkan penderitanya merasa bangga diri.
“Hipomanik masih dalam tahap kewajaran. Sedangkan manik sangat berlebihan hingga penderita tampak berlimpah energi, sampai merasa tidak perlu tidur,” kata Nurmiati. Hipomanik sendiri merupakan episode khas bipolar tipe 2.
Gangguan bipolar tipe 2 umumnya muncul pada usia 15-24 tahun. Sayangnya, orangtua dan lingkungan umumnya luput memperhatikan gejala ini. Hal ini dikarenakan orangtua dan lingkungan kerap merasa penderita memang pintar. Jika penderita sedang tidak dalam episode hipomanik, maka keadaan tersebut dianggap biasa saja.
“Siapa yang tidak bangga bila punya anggota keluarga pintar? Kalaupun kemudian diketahui, beberapa penderita dan anggota keluarga menolak pengobatan karena merasa baik-baik saja. Padahal bila ditangani sejak dini, kemungkinan untuk pulih semakin besar,” ungkap Nurmiati.
Diagnosa pada usia muda juga memudahkan deteksi bipolar, dibanding pada usia tua yang kerap serupa dengan skizofrenia atau depresi unipolar. Hal ini dikarenakan, gangguan bipolar tidak mempengaruhi kemampuan kogitif sehingga seseorang masih bisa berprestasi. Kondisi ini jelas berbeda dengan gangguan skizofrenia.
“Penderita skizofrenia akan mengalami penurunan kemampuan kognitif, hingga akhirnya tidak melanjutkan pendidikan. Sementara penderita bipolar masih bisa berkreasi,” ujar Nurmiati.
Penanganan sedini mungkin, kata Nurmiati, mencegah kekambuhan semakin kerap terjadi. Sehingga penderita bisa lebih nyaman dan menjaga kualitas hidupnya. Tentunya pengobatan ini harus didukung lingkungan dan keluarga, yang menyediakan suasana kondusif bagi kesembuhan penderita.
“Karena itu perhatikanlah anggota keluarga dekat yang seolah memiliki loncatan mood. Jangan merasa baik-baik saja hanya karena dia pintar atau kreatif. Penaganan sejak dini usia muda sekaligus menutup kemungkinan perubahan tipe menjadi bipolar 2 hingga mixed type saat usia tua,” tandas Nurmiati.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.