Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 30/10/2013, 09:04 WIB

JAKARTA, KOMPAS — Hingga 68 tahun merdeka, jumlah kematian ibu melahirkan di Indonesia masih termasuk yang tertinggi di Asia. Kematian itu terjadi di semua wilayah, termasuk daerah dengan tenaga medis yang melimpah. Butuh kerja sama semua pihak agar kematian ibu bisa diturunkan segera.

”Peningkatan kasus kematian ibu melahirkan belum dianggap sebagai hal yang memalukan,” kata Guru Besar Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (FK UGM) Laksono Trisnantoro dalam seminar Paket Rekomendasi Kebijakan untuk Penurunan Kematian Ibu dan Bayi, di Jakarta, Selasa (29/10).

Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012, angka kematian ibu selama hamil, persalinan, dan nifas mencapai 359 per 100.000 kelahiran hidup. Padahal, survei sejenis pada 2007 disebut mencapai 228 per 100.000 kelahiran hidup.

Peneliti dan konsultan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM, Rukmono Siswishanto, mengatakan, penyebab kematian ibu melahirkan dari dulu hingga kini sama. Padahal, teknologi medis makin berkembang. Jumlah dan kualitas tenaga serta fasilitas kesehatan pun meningkat. ”Sebanyak 80-90 persen penyebab kematian ibu bisa dicegah,” katanya.

Peningkatan kematian ibu melahirkan terjadi di semua daerah, baik daerah maju dan sejahtera, seperti DI Yogyakarta, maupun daerah tertinggal akibat kendala geografis, kultural, dan sumber daya kesehatan, seperti Nusa Tenggara Timur.

PKMK FK UGM bersama pemerintah provinsi dan Kementerian Kesehatan menerapkan paket kebijakan untuk menurunkan kematian ibu di DIY dan NTT. Hasilnya, kematian ibu absolut di NTT turun dari 252 ibu (2010) menjadi 172 ibu (2012). Sementara di DIY, angka kematian absolutnya berfluktuasi dari 36 ibu (2009), 56 ibu (2011), dan 41 ibu (2012).

”Walau sudah turun, jumlah itu harus terus ditekan sampai tidak ada lagi kematian ibu akibat melahirkan,” kata Laksono.
Rekomendasi

Berdasarkan upaya yang dilakukan di DIY dan NTT, PKMK FK UGM mengusulkan peningkatan advokasi oleh pemerintah pusat dan pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/ kota. Selama ini seolah-olah hanya pemerintah pusat yang peduli. Adapun pemerintah daerah, bupati/wali kota, atau dinas kesehatan, kurang peduli.

”Semua pihak, baik pemerintah pusat dan daerah, akademisi, tenaga kesehatan, maupun masyarakat perlu bergerak bersama menekan kematian ibu,” ujarnya.

Kebijakan yang diterapkan di semua daerah sebaiknya dalam satu paket upaya dari hulu ke hilir dan berlaku di seluruh wilayah Indonesia meski persoalan di setiap kabupaten/kota berbeda.

Persoalan hulu itu, antara lain, penanganan masalah kurang gizi, penyakit menular, dan kesehatan reproduksi yang menentukan kesiapan ibu untuk hamil. Adapun persoalan hilir berupa upaya untuk mengantisipasi munculnya berbagai penyulit klinis yang muncul selama ibu melahirkan dan bisa mengancam jiwanya.

Sementara itu, peneliti dan konsultan PKMK FK UGM lainnya, Sitti Noor Zaenab, mengatakan, berbagai program untuk menekan kematian ibu selama ini masih berjalan sendiri-sendiri, tumpang tindih, tidak saling menunjang, dan masih bergantung pada dana asing.

Berbagai program menekan kematian ibu yang pernah ada, seperti Gerakan Sayang Ibu, Bidan Delima, dan Suami Siaga, perlu disatukan dalam wadah Desa Siaga yang dikoordinasikan secara jelas. ”Dana asing bisa digunakan sebagai inisiasi. Selanjutnya, program dapat dijalankan dengan memberdayakan kekuatan yang ada di masyarakat,” katanya. (MZW)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau