Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 19/05/2014, 16:59 WIB

SHUTTERSTOCK Ilustrasi

KOMPAS.com -
Maraknya kejahatan seksual terhadap anak membuat sejumlah pegiat dan lembaga perlindungan anak mengusulkan hukuman suntik kebiri bagi pelaku. Hukuman ini diterapkan di sejumlah negara yang memiliki kasus kejahatan seksual besar. Meski demikian, belum ada bukti model hukuman ini mampu menekan jumlah kasus kejahatan seksual.

Sepanjang sejarah peradaban manusia, kebiri dilakukan dengan berbagai tujuan. Victor T Cheney dalam A Brief History of Castration 2nd Edition, 2006, menyatakan, kebiri sudah dilakukan di Mediterania Timur pada 8.000-9.000 tahun lalu. Tujuannya, agar ternak betina lebih banyak dibandingkan yang jantan.

Tak ada catatan pasti kapan kebiri dilakukan pada manusia. Namun, di Mesir, pada 2.600 sebelum Masehi (SM), budak yang dikebiri berharga lebih tinggi karena dianggap lebih rajin dan patuh kepada majikannya. Tindakan serupa ditemukan pada budak di Yunani sekitar 500 SM, penjaga harem raja di Persia, serta bendahara dan sejumlah pejabat kekaisaran Tiongkok.

Di era modern, tujuan pengebirian lebih beragam, mulai dari usaha mendapat suara soprano pada anak laki-laki di Italia hingga upaya menghindarkan perbuatan tak bermoral di beberapa agama. Kebiri juga dilakukan untuk mengurangi orang dengan gangguan fisik dan mental serta populasi kelompok tertentu.

Kini, kebiri jadi hukuman bagi penjahat seksual, baik pemerkosa maupun pelaku paedofilia, di sejumlah negara. Prosesnya beragam. Ada yang dengan cara tradisional, yakni pembedahan untuk membuang testis (buah zakar), dikenal sebagai kebiri fisik, atau menyuntikkan zat kimia tertentu, disebut suntik kebiri atau kebiri kimiawi.

Dalam istilah medis, kebiri disebut kastrasi. Ketua Bagian Andrologi dan Seksologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Wimpie Pangkahila, Jumat (16/5), mengatakan, dibuangnya kedua testis dalam kebiri tradisional membuat pelaku kekurangan hormon testosteron. Hormon ini memengaruhi dorongan seksual pada pria atau wanita.

Penghasil testosteron utama di tubuh adalah testis. Hormon itu juga dihasilkan kelenjar anak ginjal dengan jumlah amat sedikit. ”Tanpa hormon testosteron, pria kehilangan hasrat seksual, tak mampu ereksi, dan tak mampu berhubungan seksual,” kata dia.

Kebiri kimiawi

Zaman berganti, pengebirian berubah. Proses itu tak lagi dengan membuang kedua testis, tetapi dengan menyuntikkan obat antiandrogen, seperti medroxyprogesterone acetate atau cyproterone. Obat-obatan itu menekan fungsi hormon testosteron.

Kebiri kimiawi dianggap lebih beradab sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain menekan dorongan seksual dan menghilangkan kemampuan ereksi, antiandrogen menekan produksi sel spermatozoa sehingga membuat mandul. ”Kastrasi kimiawi memberi efek sama tanpa perlu membuang kedua testis,” ucap Wimpie.

Antiandrogen bukan obat khusus untuk kebiri. Obat itu umum dipakai pada pria penderita kanker prostat, alat kontrasepsi pada wanita, serta untuk menekan pertumbuhan rambut seperti pria yang tumbuh pada tubuh perempuan.

Meski demikian, pemberian antiandrogen mempercepat penuaan tubuh. Obat antiandrogen mengurangi kerapatan massa tulang sehingga tulang keropos dan memperbesar risiko patah tulang. Obat itu juga mengurangi massa otot dan meningkatkan lemak yang menaikkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah.

”Jika pemberian antiandrogen dihentikan, dorongan seksual dan fungsi ereksi seseorang akan muncul lagi,” ujarnya. Jadi, kebiri kimiawi bersifat sementara, bukan ”menyembuhkan” perilaku penjahat seksual. Ketika masa hukuman selesai, mereka bisa mengulangi kejahatannya jika pemicunya melakukan kejahatan seksual tak ditangani.


Dampak psikologis

Kepala Bagian Psikologi Klinis Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta Dinastuti mengatakan, kebiri pada orang yang memandang seksualitas penting dalam hidup bisa menimbulkan stres, putus asa, dan depresi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com