Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Agus Purwadianto memaparkan hal itu pada temu media, di Jakarta, Jumat (15/8).
Agus mengatakan, penyakit flu burung di sejumlah negara, flu babi di Meksiko, sindrom pernapasan akut parah (SARS), sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS-CoV), dan kini ebola telah jadi ancaman global. Karena itu, perlu ketahanan kesehatan untuk merespons hal tersebut.
”Kemampuan kita mencegah, mendeteksi, dan merespons kemungkinan munculnya penyakit menular sudah baik,” kata Agus.
Ada beberapa kapasitas inti untuk merespons kemunculan wabah penyakit. Kapasitas inti itu mulai dari perangkat hukum yang lengkap, sumber daya manusia kesehatan kompeten, laboratorium berstandar internasional, kesiapsiagaan, koordinasi, hingga komunikasi risiko.
Bagi Agus, faktor terpenting dari ketahanan sistem kesehatan adalah sumber daya manusia (SDM). Karena itu, Kemenkes bekerja sama dengan beberapa perguruan tinggi dalam meningkatkan kemampuan surveilans tenaga kesehatan di lapangan. ”Kantor kesehatan pelabuhan berfungsi mencegah masuknya penyakit di pintu-pintu masuk negara,” ujarnya.
Sistem lemah
Namun, Guru Besar Epidemiologi Universitas Indonesia Prof Nasrin Kodim sebelumnya menilai, pemerintah belum siap menghadapi wabah penyakit jika itu terjadi. Sistem yang ada tak kuat mengatasi dampak cepatnya penyebaran penyakit. Apalagi, butuh waktu lama menemukan obat tepat bagi penyakit baru.
Selain itu, kondisi sosial, ekonomi, dan kultur masyarakat memengaruhi penanggulangan penyakit. ”Sebagian sanitasi lingkungan buruk, kontak dengan hewan kian terbuka,” kata dia.
Meski demikian, menurut Agus, penanganan wabah flu burung sejak tahun 2003 menjadi pengalaman berharga bagi Indonesia. Ada 100 rumah sakit rujukan flu burung yang sewaktu-waktu bisa diaktifkan lagi. Petugas surveilans di lapangan juga terlatih mendeteksi penyakit. Semua itu tinggal diaktifkan lagi saat ada wabah penyakit.
Menurut Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Pudjiatmoko, surveilans dan penelitian biomolekuler dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit dari hewan ke manusia. Dalam surveilans, petugas participatory disease surveillance and response berkoordinasi dengan petugas dinas kesehatan. Namun, diakui, ketersediaan SDM dan sarana kesehatan hewan masih terbatas.
Kini, pihaknya mengembangkan sistem informasi kesehatan hewan di empat provinsi, yakni Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Bali, untuk merespons kemungkinan muncul wabah penyakit. Sistem itu akan diperluas ke 13 provinsi. Sistem informasi itu terhubung dengan Organisasi Internasional Kesehatan Hewan. (ADH)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.