Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 17/11/2014, 12:24 WIB
Kontributor Yogyakarta, Gandang Sajarwo

Penulis


YOGYAKARTA, KOMPAS.com- Pneumonia atau awam menyebutnya paru-paru basah di Indonesia masih menjadi persoalan kesehatan yang serius terutama bagi balita, sejak 1,5 abad yang lalu. Penyakit karena infeksi ini telah menjadi pembunuh balita terbesar kedua setelah diare. Dalam satu tahun sekitar 127 ribu balita meninggal dunia karena pneumonia, atau sekitar 13,2 persen dari seluruh kematian balita.

“Fakta ini perlu saya tekankan, agar kita sadar betapa seriusnya persoalan pneumonia ini. Kita sering begitu terpukau dengan kemunculan kembali infeksi-infeksi seperti flu burung atau ebola, dan lupa bahwa ancaman nyata bagi balita kita ada di depan mata,” kata dr HM Subuh MP PM Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, usai memberikan arahan dalam Seminar Hari Pneumonia Sedunia 2014, di Yogyakarta, Sabtu ( 15/11/2014 ).

Lebih lanjut Subuh mengatakan dalam 1,5 abad terakir belum ada terbosan yang signifikan dalam uapaya penyelesaian masalah pneumonia atau radang paru, karenanya infeksi tersebut tetap berada pada urutan kedua sebagai penyakit penyebab kematian pada balita, setelah diare.

“Diare menyebabkan 37 persen kematian dan pneumonia 13 persen. Jadi 50 persen kematian pada balita disebabkan oleh diare dan pneumonia,” lanjut Subuh.

Tingginya kematian balita karena diare dan pneumonia, lanjut Subuh, disebaban karena rendahnya kualitas lingkungan, baik karena sampah, polusi udara maupun air yang tercemar. Selain itu, juga karena kurangnya perhatian masarakat pada kebiasaan hidup sehat.

“Jika kita bisa membiasakan diri untuk hidup bersih, mencuci tangan pakai sabun pada air mengalir, pemberian ASI ekslusif, imunisasi, asupan gizi seimbang dan menghindarkan balita dari asap rokok, maka resiko terkena pneumonia akan sangat rendah,” katanya.

Subuh menambahkan diare dan pneumonia bukan murni masalah kesehatan, tapi juga masalah sosial. Diperlukan kerjasama lintas sektor untuk penanganannya. Selain langkah-langkah preventif tersebut, untuk menekan kematian balita karena pneumonia, kualitas layanan kesehatan ditingkat primer dan i puskesmas-puskesmas juga perlu ditingkatkan.

Selain kemampuan tenaga medis dalam melakukan deteksi dini pneumonia, fasilitasnyapun perlu ditingkatkan. “ Banyak kasus kematian balita karena pneumonia, disebabkan keterlambatan penanganan. Pasien sudah dalam kondisi sesak nafas akut, kita baru menyadari karena pneumonia. Kondisi akan semakin buruk ketika di pusat layanan keehatan primer tidak tersedia oksigen yang memadai untuk segera memberikanpertolongan pertama,” pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau