Data Kementerian Kesehatan 2013 yang diolah Divisi Litbang Kompas menunjukkan, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, memiliki sebaran (prevalensi) kasus stroke tertinggi di Indonesia dengan persentase 66,6 persen. Adapun prevalensi tertinggi jantung koroner ada di Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, dengan persentase 15,5 persen, sedangkan Manggarai Timur prevalensi tertinggi diabetes, 19,2 persen.
Prevalensi hipertensi tertinggi ada di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, dengan persentase 43,6 persen dan paru-paru tertinggi ada di Kota Gunungsitoli, Sumatera Utara, dengan persentase 35,8 persen, sedangkan prevalensi kanker tertinggi di Sleman, DI Yogyakarta, dengan 6,1 kasus per 1.000 penduduk.
Sementara itu, analisis awal Sample Registration Survey (SRS) 2014—survei kematian skala nasional terhadap 41.590 kematian sepanjang 2014—yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan menunjukkan, stroke dan jantung penyebab kematian pertama dan kedua di Indonesia sepanjang 2014. Persentasenya, masing-masing 21,1 persen dan 12,9 persen.
Kepala Balitbangkes Tjandra Yoga Aditama mengatakan, Indonesia menghadapi beban ganda penyakit, kondisi ketika penyakit menular belum terkendali penuh dan penyakit tidak menular terkait gaya hidup cenderung meningkat pesat dan jadi pembunuh nomor satu. ”Transisi epidemiologi sedang terjadi,” ujar Tjandra, Sabtu (16/5), di Jakarta.
Tahun 1990-an, kata Tjandra, stroke menempati posisi keempat penyebab kematian. Tahun 2014, peringkat pertama. Adapun penyakit jantung dan pembuluh darah yang pada tahun 1990-an di luar 10 besar penyebab kematian, tahun 2000-an jadi pembunuh kelima dan tahun 2014 penyebab kematian kedua.
Perubahan pola penyakit terjadi seiring perubahan status sosial ekonomi, gaya hidup, dan meningkatnya usia harapan hidup. Interaksi berbagai faktor risiko, seperti rendahnya aktivitas fisik, kebiasaan merokok, asupan gizi tak seimbang, dan konsumsi alkohol kian mempercepat terjadinya penyakit tidak menular.
Kepala Bidang Pencegahan dan Penanggulangan Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan DI Yogyakarta Daryanto Chadorie mengatakan, masyarakat Yogyakarta terbiasa mengonsumsi makanan manis dan minim konsumsi sayur dan buah. Kebiasaan itu berisiko menimbulkan penyakit tidak menular.
Di banyak daerah, makanan dan minuman berkadar gula dan garam tinggi kian mudah dijumpai. Gerai-gerai minimarket buka hingga lewat tengah malam.
Menurut dosen sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Victoria Sundari Handoko, ada unsur kapitalisasi bisnis yang turut membuat produk makanan dan minuman yang dulu hanya berpusat di kota besar kini hadir di kota-kota kecil dan mudah diakses warga segala umur.
Menurut Tjandra, risiko penyakit tidak menular di kota besar dan kecil sebenarnya relatif sama. Asupan gizi tidak seimbang, kebiasaan merokok, dan konsumsi alkohol merupakan faktor risiko yang sama-sama terjadi, baik di kota besar maupun kecil. ”Aktivitas fisiknya saja yang mungkin agak berbeda antara kota besar dan kecil,” ujarnya.
Dari data SRS 2014, setelah stroke dan penyakit jantung koroner, penyebab kematian tertinggi tahun 2014 berikutnya adalah diabetes melitus dengan komplikasi (6,7 persen), tuberkulosis (5,7 persen), dan hipertensi dengan komplikasi (5,3 persen).
Analisis awal SRS 2014 oleh Balitbangkes tersebut sejalan dengan tren yang terlihat pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Berdasar Riskesdas, prevalensi stroke meningkat dari 8,3 per 1.000 penduduk tahun 2007 menjadi 12,1 per 1.000 penduduk pada tahun 2013.
Tersebar meratanya berbagai penyakit akibat gaya hidup, mulai dari pedesaan hingga perkotaan, menurut antropolog kesehatan Universitas Indonesia, Sri Murni, akibat dari perubahan perilaku masyarakat secara keseluruhan.