JAKARTA, KOMPAS.com - Kanker merupakan salah satu penyakit tidak menular dengan peningkatan prevalensi yang cukup tinggi. Data menunjukkan, perempuan di Indonesia, apalagi yang berusia muda, semakin banyak yang mengidap kanker payudara.
Menurut Dr.Aru Wisaksono Sudoyo, Sp.PD-KHOM, insiden kanker pada perempuan Indonesia kebanyakan pada orang di usia produktif.
"Beda dengan di negara maju. Kalau di sana pasien kanker payudara datang diantar anak-anak mereka, sedangkan di Indonesia pasiennya membawa anak-anak, jadi masih pada muda," katanya dalam acara diskusi Mari Bersama Kalahkan Kanker Payudara yang diadakan oleh Yayasan Kusuma Buana dan Roche Indonesia di Jakarta (20/10/2016).
Aru menambahkan, insiden kanker pada perempuan berusia kurang dari 40 tahun di negara maju kurang dari tiga persen. "Di Indonesia pasien kanker payudara yang muda mencapai 30 persen," ujar Ketua Yayasan Kanker Indonesia ini.
Secara nasional, prevalensi penyakit kanker di Indonesia tahun 2013 adalah 1,4 per 1000 penduduk atau sekitar 330.000 jiwa. Sementara kanker payudara insidennya 40 per 100.000 perempuan.
Menurut Dr.Niken Palupi, MKM, Kasubdit Pengendalian Penyakit Kanker Kementrian Kesehatan RI, data tahun 2010, penyakit kanker belum masuk 10 besar penyakit penyebab kematian, tetapi di tahun 2015 penyakit kanker mencuat ke petingkat ke peringkat empat sebagai penyebab kematian.
"Di antara negara-negara ASEAN, penyakit kanker di Indonesia berada di urutan kedua sebagai penyebab kematian terkait penyakit tidak menular, dan hanya lebih rendah dibandingkan Thailand," kata Niken dalam acara yang sama.
Terkait pelayanan kanker di Indonesia, salah satu masalah adalah tidak meratanya dokter spesialis onkologi maupun bedah onkologi. Jumlah dokter bedah onkologi hanya 200 orang, spesialis onkologi medik 130 orang, dan spesialis radioterapi lebih kecil lagi.
"Di Indonesia Timur bahkan tidak ada dokter pseislias onkologi medik maupun bedah onkologi. Oleh karena itu kalau sistemnya untuk mengejar pelayanan kuratif, maka tidak akan terkejar," ujar Aru.
Niken mengatakan, penanggulangan kanker saat ini ditekankan pada upaya promotif dan preventif. Kemenkes membagi upaya promotif fan prevetif pada tiga kelompok masyarakat yakni pada populasi yang sehat, populasi berisiko dan masyarakat yang sudah menderita kanker.
Pada populasi yang sehat, menurut dia, lebih ditekankan pada promosi kesehatan dan deteksi dini. Sementara pada kelompok beresiko, sasaran adalah pada pengendalian faktor risiko seperti berhenti merokok, menurunkan berat badan pada yang obesitas dan mendorong deteksi dini.
Untuk kanker payudara, saat ini tidak hanya Sadari (pemeriksaan payudara sendiri) yang bisa dilakukan di secara mandiri, namun masyarakat didorong melakukan Sadanis (pemeriksaan payudara klinis), yakni deteksi kanker payudara oleh tenaga medis terlatih.
"Dalam Sadanis juga sekalian dilakukan pemeriksaan pemeriksaan IVA untuk deteksi kanker serviks," papar Niken.
Yang menjadi masalah, saat ini baru 3,4 persen atau 1,5 juta cakupan deteksi dini pada kelompok perempuan usia 30-40 tahun. Padahal, targetnya adalah 37 juta perempuan. Program deteksi dini sudah dimulai sejak 2009.
Rendahnya cakupan deteksi dini ini salah satunya karena tingkat kesadaran yang rendah, baik di masyarakat atau pun para dokter. Padahal, bila program deteksi dini ini dilakukan, penyakit bisa ditemukan pada stadium awal sehingga biaya pengobatan bisa ditekan dan usia harapan hidup lebih panjang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.